Puas berjalan marathon, esoknya saya menuju ke Ubud, eksotisme lainnya yang terkenal dengan suasana pedesaan dan hamparan sawah hijau membumi yang siap mendamaikan jiwa *ini terkesan puitis atau berbeban berat ya?* Seperti yang saya akui, ini kali pertama *better late than never kan?* jadi tentu saja rasa deg-degan muncul. Belum tahu Ubud kayak apa, dapat hotel nggak, deket nggak sama lokasi festival. Karena walaupun curcol yang saya baca seru, saya juga dapat gambaran Ubud itu gelap di malam hari. alhasil makin excited *lho*
Ke Ubud naik apa? Buat yang demen nyetir sendiri bisa menyewa motor / mobil. Sudah banyak kok yang sistim lepas kunci dengan begitu bebas deh dibawa kemana-mana. Berhubung saran sahabat lain yang tinggal di Bali kalau Ubud itu nggak terlalu besar, saya memilih naik shuttle bus. Kebetulan saya juga tertarik untuk menjajal si Kura-Kura, shuttle bus yang bentuk dan warnanya gampang dikenali, persis kayak kura-kura. Shuttle bus ini memiliki banyak pos dengan pusatnya di mal Bali galeria di jalan bypass I.G Ngurah Rai *gps aja kalau bingung*
Start dari hotel langsung aja cari taksi / ojek atau kalau mau nekat dikit -kayak saya- ya jalan kaki *hah* serius?? iyaah serius :D bukan karena saya pelit loh tapi dari awal kan niatnya nge-bolang *keuntungan single traveler gituhh...lain kalau bawa teman atau kerabat bisa di delete list kali yah* apalagi pulasnya saya tidur di hostel yang nyaman sudah mengisi penuh energi *berhubung saya pecinta jalan ya oke.. dan lagi-lagi, ngandelin mr. GPS untuk cari arah* Ternyata nggak sejauh yang saya kira. Jadi begitu sampai di perempatan yang juga ujung jalan legian street tinggal belok kiri -kalau ke kanan ada Warung Made yang terkenal dengan menu nasi campur dan nasi gorengnya- lalu terus sampai menuju jalan besar, kelihatan kok sudah bukan kawasan pejalan kaki, melewati beberapa restoran, kemudian nyebrang 2-3 kali *malah dibantuin satpam yang baik hati..makasih ya pak..* sampai nemu bundaran yang ada patung besar nan keren...hehe patung dewa Ruci ituhh *sayang gagal foto bagian depan, silau sih malah jadi kayak siluet..*
aslinya tinggi banget, heroic pose of Dewa RuciKe Ubud naik apa? Buat yang demen nyetir sendiri bisa menyewa motor / mobil. Sudah banyak kok yang sistim lepas kunci dengan begitu bebas deh dibawa kemana-mana. Berhubung saran sahabat lain yang tinggal di Bali kalau Ubud itu nggak terlalu besar, saya memilih naik shuttle bus. Kebetulan saya juga tertarik untuk menjajal si Kura-Kura, shuttle bus yang bentuk dan warnanya gampang dikenali, persis kayak kura-kura. Shuttle bus ini memiliki banyak pos dengan pusatnya di mal Bali galeria di jalan bypass I.G Ngurah Rai *gps aja kalau bingung*
Start dari hotel langsung aja cari taksi / ojek atau kalau mau nekat dikit -kayak saya- ya jalan kaki *hah* serius?? iyaah serius :D bukan karena saya pelit loh tapi dari awal kan niatnya nge-bolang *keuntungan single traveler gituhh...lain kalau bawa teman atau kerabat bisa di delete list kali yah* apalagi pulasnya saya tidur di hostel yang nyaman sudah mengisi penuh energi *berhubung saya pecinta jalan ya oke.. dan lagi-lagi, ngandelin mr. GPS untuk cari arah* Ternyata nggak sejauh yang saya kira. Jadi begitu sampai di perempatan yang juga ujung jalan legian street tinggal belok kiri -kalau ke kanan ada Warung Made yang terkenal dengan menu nasi campur dan nasi gorengnya- lalu terus sampai menuju jalan besar, kelihatan kok sudah bukan kawasan pejalan kaki, melewati beberapa restoran, kemudian nyebrang 2-3 kali *malah dibantuin satpam yang baik hati..makasih ya pak..* sampai nemu bundaran yang ada patung besar nan keren...hehe patung dewa Ruci ituhh *sayang gagal foto bagian depan, silau sih malah jadi kayak siluet..*
just got the silhouette as result...
Sampai di galeria mal langsung bergegas nyari pos-nya Kura-kura Shuttle Bus -malah gampang soalnya dari gerbang langsung ke kiri. Ini dia yang kepingin saya jajal. Dengan warna hijau kuning yang khas, kayaknya dua warna yang ramah lingkungan ini jadi warna fave deh buat enjoyable mass transportation ya. Dasar bego, udah antusias berencana mau jepret penampakan depan eh malah lupa karena buru-buru..takut ditinggal sih..hiks.. Di pos saya membeli tiket koin berwarna ungu untuk jurusan Ubud Line seharga 80 ribu rupiah untuk sekali jalan. Harganya bervariasi, semisal 20 ribu untuk Kuta Line, ada juga Seminyak Line, Sanur Line dll. Ada juga tiket berbentuk kartu yang bisa diisi dan dipergunakan seperti sistim bus di Singapura. Mahal? Efisien menurut saya. Selain ketepatan jadwal, bangku dan ac yang nyaman, sudah ada fasilitas wi-fi sehingga nggak perlu kuatir bosan di perjalanan khususnya buat solo traveler, kalau nggak ya tidur aja, asal jangan kebablasan hehe...saya sih malah excited liat jalanan, lagipula... *hmm, ini dia bagian yang menyebalkan...curcol dikit ya.. jadi begitu naik saya dapat tempat duduk baris kedua dari belakang, dengan tiga kursi tiap barisnya. Di depan ada cewek duduk sendirian lalu naiklah sepasang turis duduk di belakang saya. Bangku depan rupanya khusus untuk sopir dan rekannya, sedang ditengah saya lihat ada beberapa penumpang dan masih ada baris yang kosong. Jadi nggak full semua. Turis cewek tadi ternyata ada temannya yang naik belakangan. Pas mengira bakal duduk sendirian, rupanya ada turis bule yang datangnya telat, udah gitu belum beli tiket mana nggak punya rupiah lagi. Alhasil dibayarin sama penumpang teman cewek itu dan semua dibikin menunggu. Si bule ini lantas duduk di samping saya, jeda sekursi lah. Dalam hati mikir, wah ada teman ngobrol nih, ehh usut punya usut langsung ini bule ngajak ngobrol seruu pake bahasa campur-campur sama sepasang penumpang depan-belakang -yang notabene dari Pontianak dan Taiwan- terkecuali saya. Nggak tahu juga sih apa si bule ini kenalannya mereka atau satu rombongan. Udah gitu ini bule nawarin permen, ya, lagi-lagi kecuali, nengok kasih senyum aja enggak.. emang sih pas dia baru duduk kayak ada perasaan gak enak *ngarep sih enggak cuman salah saya apa coba* Nah lho... Jadi deh sepanjang perjalanan yang kurleb sejam saya nggak berkutik terjepit diantara obrolan yang mau ga mau didengar -mana tengok depan belakang melulu- tapi kok ya jengah kalau pura-pura jaim...mau ditinggal tidur berisik banget, takut kebablasan juga. Jadi dengan setengah terpaksa saya ber -wi-fi-an nggak jelas. Pas mau turun juga, ini bule -and he's a teacher, a damn one- langsung seenaknya ngelipet kursi duduknya biar yang di belakang bisa turun tanpa mau tahu saya belum turun apa nggak. Asli saya ketawa dongkol hahaha~ Gagal niatan menikmati perjalanan pertama dengan si Kura-kura dengan nyaman. Kesalnya lagi kenapa saya nggak nurutin feeling waktu melihat bangku baris tengah masih ada yang kosong *curcol selesai*
si kura-kura yang larinya cepat...
Semua penumpang turun di Museum Puri Lukisan yang menjadi pos yang lokasinya paling startegis di Ubud. Lupakan dongkol gara-gara si bule tadi *ya udah itung-itung pengalaman* sekarang lekas nyari hotel. Andalan saya ya GPS, meski sebelumnya sudah mencari info di dunia maya. Ada beberapa tempat tujuan sih sesuai budget yang saya siapkan. Ada yang bilang di Ubud lebih mahal, paling murah pun. Ternyata niatan saya cari yang ada pemandangan sawah pun batal karena letaknnya kejauhan. Bagus sih, tapi inget kaki.... Setelah muter-muter -nggak perlu malu tanya-tanya doank, banyak juga kok bli-bli yang nawarin tempat ini itu- bahkan ada tempat yang muncul di GPS tapi nggak ada jalannya, saya berhenti sebentar, berdoa *bukan mau pamer tapi kenyataan terbantu banget sama pertolonganNya* tiba-tiba seorang bli mendekati saya dan menawarkan penginapan yang jalan masuknya naik ke atas. Awalnya sih ragu tapi berhubung hari makin siang, okelah... Nyesel? Nggak. Kalau gini ya nggak tahu. Saya diantarkan bli Wayan ke Abangan Bungalow yang lebih dari bayangan hemat saya *kan edisi agak mbolang* dan harga semalamnya malah lebih murah dari budget yang saya siapkan yakni 300 ribu rupiah /malam plus 4 macam sarapan sederhana yang juga bisa diantar -ada nasi goreng, omelet, toast untuk porsi 1-2 orang-. Kamarnya luas dengan ruang tidur di lantai dua berkayu semua pake ac sehingga terasa nyaman. Sedang kamar mandi di bawah cukup luas dengan bathub, shower air panas tersedia dan wastafel rias, walau harus saya akui warnanya tidak membuat betah, yang penting bersih dan luas. Dua jendela di kamar tidur, depan menghadap jurang yang menghijau diiringi cecuitan burung sementara bagian belakang berhadapan dengan dinding Pura. Ada teras depan yang bisa dipakai duduk santai dan tiduran, sementara berjalan sedikit ke kiri ada kolam renang yang tak seberapa besar tapi dalam kok. Pas terletak di tengah-tengah area. Nyaman lah. Malah pas untuk kami bertiga (ayah saya dan pak sopir lagi menyusul). Letaknya juga strategis, enggak jauh dari kawasan kota, dekat Ubud's palace, Casa Luna dan Blanco's museum di sisi sebaliknya. Plusnya lagi, ada Pura di samping yang kalau malam bisa kedengaran dan bisa lihat pertunjukan tari Kecak dari aulanya *ini sih mission accomplished*
Semua penumpang turun di Museum Puri Lukisan yang menjadi pos yang lokasinya paling startegis di Ubud. Lupakan dongkol gara-gara si bule tadi *ya udah itung-itung pengalaman* sekarang lekas nyari hotel. Andalan saya ya GPS, meski sebelumnya sudah mencari info di dunia maya. Ada beberapa tempat tujuan sih sesuai budget yang saya siapkan. Ada yang bilang di Ubud lebih mahal, paling murah pun. Ternyata niatan saya cari yang ada pemandangan sawah pun batal karena letaknnya kejauhan. Bagus sih, tapi inget kaki.... Setelah muter-muter -nggak perlu malu tanya-tanya doank, banyak juga kok bli-bli yang nawarin tempat ini itu- bahkan ada tempat yang muncul di GPS tapi nggak ada jalannya, saya berhenti sebentar, berdoa *bukan mau pamer tapi kenyataan terbantu banget sama pertolonganNya* tiba-tiba seorang bli mendekati saya dan menawarkan penginapan yang jalan masuknya naik ke atas. Awalnya sih ragu tapi berhubung hari makin siang, okelah... Nyesel? Nggak. Kalau gini ya nggak tahu. Saya diantarkan bli Wayan ke Abangan Bungalow yang lebih dari bayangan hemat saya *kan edisi agak mbolang* dan harga semalamnya malah lebih murah dari budget yang saya siapkan yakni 300 ribu rupiah /malam plus 4 macam sarapan sederhana yang juga bisa diantar -ada nasi goreng, omelet, toast untuk porsi 1-2 orang-. Kamarnya luas dengan ruang tidur di lantai dua berkayu semua pake ac sehingga terasa nyaman. Sedang kamar mandi di bawah cukup luas dengan bathub, shower air panas tersedia dan wastafel rias, walau harus saya akui warnanya tidak membuat betah, yang penting bersih dan luas. Dua jendela di kamar tidur, depan menghadap jurang yang menghijau diiringi cecuitan burung sementara bagian belakang berhadapan dengan dinding Pura. Ada teras depan yang bisa dipakai duduk santai dan tiduran, sementara berjalan sedikit ke kiri ada kolam renang yang tak seberapa besar tapi dalam kok. Pas terletak di tengah-tengah area. Nyaman lah. Malah pas untuk kami bertiga (ayah saya dan pak sopir lagi menyusul). Letaknya juga strategis, enggak jauh dari kawasan kota, dekat Ubud's palace, Casa Luna dan Blanco's museum di sisi sebaliknya. Plusnya lagi, ada Pura di samping yang kalau malam bisa kedengaran dan bisa lihat pertunjukan tari Kecak dari aulanya *ini sih mission accomplished*
dari sini udah adem liatnya, sebelah ada jurang teduh menghijau dan Pura...
Di hari terakhir menginap sempat bertemu pemiliknya yang ternyata orang Surabaya toh...
duo patung dewi penyambut yang dipasang di pintu masuk
one single bed and a double bed...
Nggak ada lampu putih tapi justru itu yang membuat ruangan makin temaram. Kalau pagi dan siang cahaya otomatis dari jendela depan dan belakang. Terang kok.
satu lemari dan meja rias. Jendela belakang bersebelahan tertutup gerbang Pura.
area teras depan. You can sit or sleep as you like
the walking path... Lurus terus sampai bungalow paling akhir. Pemandangan di samping emang bukan sawah tetapi tetap meneduhkan.
just an ordinary pool.
this branches-tree is really wowed me for a second. Reminded me of hartshorn. Don't you?
jalan setapak yang menghubungkan setiap bungalow
the museum, the house of famous painter is in here... Antonio Blanco's museum.
Menuju Ubud Food Festival saya melewati museum Blanco, terpaksa lewat doank sambil melirik-lirik dikit. Darah seni sih udah bergejolak pingin mampir *tapi perut sih menolak ahaha* berhubung janjian sama ayah yah besok deh. Dari sini jalan makin menanjak, menuju ke atas hingga sampai ke Taman Baca, tempat saya mengikuti event tersebut. Read here what another fun with food I could get from the festive.
Balik menuju ke bungalow di hari ke-2 Ubud Food Festival, karena masih ada waktu saya pun menyempatkan diri mengunjungi sebuah galeri seni. Gagal berbincang karena tidak bertemu pelukis-nya, setidaknya terobati dengan menikmati karya-karya yang hanya sebagian saya ambil *lha datang untuk menikmati, bukan jepret-jepret toh* Perpaduan abstrak, sisi kekanakan, imajinasi, relijius dan colorful tergambarkan semua dalam karya-karya ini serasa seperti membawa cerita yang terangkai di dalamnya.. *yup, I'm not capable to judging nor labeling, would not, bcoz paint is art, same as food, don't review it if bad or for what it's bad but what's good we could get from it. Paint itself is either a soul epitome for what it's work and the painter*
the Buddha and shinning tree... surprisingly, the Buddha's head is shaped in prominent. Have no dare to touch it to see from what it made, thus understanding the real meaning. Is it about that Buddha is mostly noticed only with head, or given us a symbolic meaning of Buddha's wisdom words that we've really often enchanted as harmony's quotes... the shiny, yellow color also given a vibrant emotion into our mind....
What do you think, a wiseman or holy man? when word beyond world and beyond world...
and here's the winner of that day! The brave one who sit almost to the middle of road. Oh cutey, step back please... Jatuh hati deh. Gradasi warna bulunya membuatnya tangguh tetapi tetap imut, tiga kali melewati jalanan ini bertemu tapi nggak berani pegang, eh hari terakhir mau ketemu dia lagi duduk-duduk berpose berani hampir tengah jalan yang ramai gitu...
let's eat...again...
closed or sealed, luck or cursed, blinded or blessed
it should afraid you at most
it should curious you at last
what makes a human is a mystery that only a person know in self
enjoying some little wooden zoo... those animals wooden crafts looks great. Located near the Surabaya's depot we had for breakfast. Cerita pagi hari di Ubud, tiba-tiba ayah saya memaksa berkeliling agak jauh dari kawasan Ubud untuk mencari menu masakan yang berbau Jawa *ini perkara selera lidah sih...* sampai akhirnya nemu warung bernama Surabaya, bertemu si abang orang Surabaya yang menikah dengan perempuan Bali. Masakannya ala jawa timuran banget semacam tumis terong penyet, pare, mie, pecel, nasi campur, gorengan, ikan, jerohan dan nggak lupa ketinggalan mencicipi sate yang sungguh menggoda....yummiii... Rata-rata sepuluh ribu per porsi (belum termasuk lauk besar, sate dan minum) karena porsi sayur dan nasinya aja udah banyak. Kenyang. Sepakat bertiga bilang enak *bisa dirasain maksudnya* Lokasinya? yang jelas disamping wood craft shop ini...*pikun*
grille me in the state of moaning troublesome
the thick meat, the tender looks, can I wait it right now?
I am devoured by its smell, the smokey fly away to the sky, soon I catch some....
One day. That morning. When Dad suddenly forced us to going further away from Ubud just to search Javanese food. I can understand that, beside he's not really get used to eat in restaurant in early morning and eating western-style food. My Dad's just really so local, but his case gives me a concern in mind to thought more the person who comfortable to eat in general or specific food. I think all cooks even foodie has been experienced once. Then we finally found a little restaurant named Surabaya. Later we all agreed the foods served here which is East Java-style or influenced are really good. The portion is satisfying, the price is also common, paid only ten thousand rupiah per serving, not yet included the side-dishes, satay and drinks. The male owner is originally from Surabaya but moved after get married with Balinese lady.
deretan lauk yang lengkap....gak cukup jepretnya...lagian sudah laper....
gorengan...side-dishes, fried of anything (tempeh, tofu, fish, minced meat, offal etc)
Singkatnya waktu memang enggak bisa dicegah, begitu juga yang satu ini. Sebelum pulang, mampir ke warung Babi Guling Ibu Oka yang kata orang nggak afdol kalau ke Ubud tapi belum kesini. Baca selengkapnya disini.
Another experience of tasty pork dishes? Yes, It is a famous one in Ubud. Read here to taste!
Berat rasanya harus pulang. Singkatnya perjalanan saya di Ubud terpaksa harus mencoret beberapa keinginan yang jelas belum terpuaskan *masih banyakkkk* Apa boleh buat keterbatasan waktu juga. Mengikuti Ubud Food Festival dan menemani ayah di Blanco's Museum pastinya jadi pengalaman tersendiri. Belum puas, iya, tapi liburan tidak harus berarti semuanya kan. Yang penting pikiran dan hati kembali fresh dan berhasil membawa sesuatu yang mengindahkan hidup kita menjadi lebih baik di kemudian hari *nah lho inspirasinya udah terisi* ~But that's Bali, a Paradise that you will back again...
Untuk perjalanan pulang kembali ke Denpasar dan langsung melanjutkan melalui jalur kuning yang berarti jalur menuju ke pelabuhan Gilimanuk. Karena masih ada ruang di perut..hehehe...berhenti lagi deh untuk makan siang ehh sore di Warung Beno yang spesialisasinya Ayam /Bebek Betutu *horee kesampaian deh* Baca selengkapnya disini.
~But that's Bali, a Paradise that you will back again...
Still, in our way heading to the port, I got one more chance to taste another cuisine. Stopped by just to eat again! enjoying Ayam/ Bebek Betutu (Bali's Betutu Chicken / Duck). Is it delicious? Found the curiousness here.
Dan sebelum benar-benar meninggalkan Bali, kami pun mampir dulu -istirahat juga- di sebuah gereja di wilayah Negara, dimana arsitekturnya menggabungkan budaya Bali dalam pembangunanya. Sebuah penggabungan yang sarat akan nilai-nilai sosial budaya dan edukasi. Dari depan tampak begitu megah, artistik, kokoh dan spiritual dengan adanya gerbang pura. Melihat lebih dekat, gereja yang didirikan sejak tahun 1958 ini ternyata juga menggabungkan arsitektur Belanda. Senangnya diperbolehkan mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam untuk berdoa. Ingin tahu dalamnya, baca disini.
So, before we're finally leaving Bali, there's a region named Negara. My dad suggest us to visiting this church for an hour, as we need rest too. So beautiful since its architecture has a fusion between local and origin. So it has Dutch's reminiscence and Bali's nuance such as Pura's Gate. It looks solid, more spiritual. Let's see the inside here.
suasana pelabuhan Gilimanuk di malam hari... the silence moment in Gilimanuk port...
when we're afloat back heading to Java island...oh, I see sea but don't see food...lol~
*shake mode, too tired*
paused. moved. recharged. fill up. Coffee anyone? Rest Area Sira 25. It's early morning at 2 a.m..
just a little bit more to come home. Kayaknya pagi buta deh sampai rumah. Thanks God, we arrived safe and sound. See ya again, Bali.
0 komentar:
Post a Comment