
"Nanti disana mau nyicip apa pak?" Iseng-iseng saya bertanya pada bapak sopir -dan nyicip itu artinya mencoba- dan jawabannya, Babi guling!...lengkap dengan seporsi semangat yang bikin saya tergelak. Hmm, serasa ada yang kurang ya kalau ke Bali nggak mencicipi menu kuliner satu ini? Saya sendiri penggemar hidangan babi dan menu kuliner berbahan tersebut jadi otomatis lah saya juga penggemar kuliner ini dan pastinya bakalan ber-jingkrak *dalam hati* bila mendapatkan sepiring kenikmatan khas Bali.
Babi guling memang identik dengan menu kuliner khas Bali, selain beberapa nama lain yang kita kenal *pokoknya banyak* lebih-lebih yang terasa khasnya didapat dari komposisi, cara memanggang babinya yang terasa spesial hingga kita bisa merasakan krispi-nya kulit dan keripik babi yang gurih-gurih garing, sampai berkenalan dengan cita rasa pedas Bali yang dirasakan lewat sayur dan sambalnya. Sedap? oh yess sukses bikin ngecess... *ini perutnya ya yang ngeres* maka tak heran orang luar Bali pun yang pernah merasakannya akan selalu terkenang dan kembali lagi. Namanya juga kuliner, dan semakin menjadi sebuah tren, wajar dong. Oke, pujiannya sudah, sekarang komplain hehe...boleh dikata saya merasa sebal karena walau daging babinya itu jadi perhatian, porsi dagingnya terasa kurang. Kurang banyak. Malahan -agak nggak adil juga ngebandinginnya- lebih banyakan ketika saya nggragasi *rakus* menikmati gurih garingnya babi panggang ala Chinese cuisine yang kerap disebut Siobak dan ada juga Baikut. Kalau dibawa pulang bisa makan pakai nasi sepuasnya lagi. Oh, soal nasinya babi guling juga, rasanya cenderung kering, entah apakah itu saya saja yang merasa ya. Jadi sepanjang 15 menit ini saya tergelitik ingin tahu apakah pendapat itu datangnya dari orang-orang yang menyukainya saja? Apakah kondangnya menu kuliner satu ini karena berciri khas Bali, baik dari segi isian dan cara memanggangnya? *kayaknya harus buka buku sejarah nih* Apapun itu, ada satu hal yang saya ikut setuju, kelezatannya. Saya menyadari sekalipun sebuah menu diolah atau hanya disajikan sederhana, atau bahkan jika tidak selezat yang orang lain pikirkan, ada hal-hal yang tidak tergantikan dan menjadikan menu kuliner tersebut memiliki kenikmatannya sendiri. Daya tarik itulah yang menjadikannya berarti. Barangkali seperti pepatah, tak kenal maka tak sayang bukan? *ada sih yang habis kenal jadi benci - nggak curcol*
Suasana ruang yang luas di malam hari terasa temaram, entah kalau siang saya belum merasakannya. Untuk komposisinya, walau nasinya cenderung kering, harus saya akui kulit babinya emang renyah, berasa gurih-gurih nikmat dan daging babinya empuk *kurang banyak* kemudian ada dua tusuk sate babi manis -sayangnya bukan sate lilit- sedang untuk jerohan goreng kering cukup alot dan memaksa gigi saya menyerah ketimbang ngilu. Entah kenapa tidak ada kerupuk babinya juga sosis, barangkali ? Lawar nya -sayur- enak pedes-pedes seger juga sambalnya membangunkan selera, masih ditambah kuah yang ringan, halus menjadi penyeimbang untuk nasinya. Lupa tanya juga sih apa kuahnya ada yang pedes biar lebih nendang. Kenikmatan ini masih ditambah canda sahabat dan seorang teman lama yang dulu sekelas yang datang beberapa saat kemudian *ehh dunia emang sempit ya? telat* Keduanya juga sepakat untuk nggak makan ditempat alias dibungkus -iya sih pasti udah sering- dengan harga yang jauh lebih murah bisa sampai 10 ribu tergantung pilihannya *mendadak nyesel kenapa nggak ikutan mbungkus pisan ya *makan lagi maksudnya*
Beranjak ke Ubud, sudah pasti dong ada satu jujukan yang juga wajib dikunjungi. Awalnya saya mengira tempatnya jauh namun ternyata jalan kaki dari tempat saya menginap pun bisa. Mampir ke Babi Guling Ibu Oka yang berada di jalan Suweta. Rencana mampir di hari pertama batal karena ayah dan pak sopir datangnya kemalaman alhasil ya tutup. Sampai akhirnya mampir deh 15 menit sebelum kami pulang meninggalkan Ubud. Niat saya makan di tempat batal karena penuh banget disini. Mana ternyata nggak dibolehin parkir lagi -penasaran aja apakah banyak mobil disitu miliknya pengunjung juga?- Jadi meski dibungkus tetap aja nafsu dan perut saya meluap-luap gembira, meski kaget kalau ternyata dibungkus pun harganya tetap sama *ngarep* yakni 60 ribuan /porsi. Ya udah akhirnya bungkus dua deh biar si papa ikut keturutan mencicipi. Mau nambah dibawa pulang sampai rumah kok takut enggak kuat sayang juga. Jadi makan deh selama perjalanan itu. Bungkusnya terbilang eksklusif, tebal membeikan kesan isinya banyak. Porsi daging babinya lebih banyak -tidak berniat membandingkan sih dengan Ibu Candra- sebaliknya kulit babi yang saya makan nggak terlalu garing. Lawarnya saya akui lebih nendang, begitu juga kuahnya yang pedes. Walau agak takut-takut menicicipi sosisnya yang item dekil. Menghabiskan suapan terakhir, saya berdoa dalam hati lain waktu akan kembali lagi makan di tempat.









0 komentar:
Post a Comment