Oase Jiwa di Goa Maria Kerep Ambarawa & Biara Rawaseneng




Apa kamu sudah mempersiapkan hatimu?

Ziarah, dan sebuah pertanyaan yang muncul dalam hati saya.

Tiada hal yang lebih menyenangkan selain merasa 'plong' di hati usai ber-ziarah. Berziarah menjadi sebuah pengalaman rohani untuk merefleksi, mencuci bersih batin serta pikiran dan terpenting, lebih mendekatkan nurani kita kepada Sang Khalik. 

Di akhir bulan Januari lalu, bersama rombongan keluarga dan rekan-rekan gereja, saya menikmati ziarah singkat ke Gua Maria Kerep di Ambarawa. Singkat, karena tidak perlu menginap, alias menginapnya di bis saja. Toh dalam kebersamaan, perasaan jauhnya perjalanan yang ditempuh menjadi tak terasa dengan banyak obrolan dan candaan, lebih-lebih kalau duduk di dekat orang yang rame alias pinter nge-ramein suasana. Seru! Ziarah ini juga sudah dinanti-nanti saya dan keluarga berhubung kami biasa melakukannya di minggu pertama sesudah Tahun Baru. Jadi semacam kebiasaan -kebiasaan yang menyenangkan- dan ziarah ke Gua Maria sendiri rasanya wajib atau familiar dalam jadwal. Tak perlu jauh-jauh, yang di tanah Jawa dulu mulai dari yang paling sering di Gua Maria Sendang Sono sampai Candi Yesus (Sendang) Ganjuran di wilayah Yogyakarta. Ke Gua Maria Kerep ini juga bukan kali pertama. Malahan masih terkenang betul ketika kami sempat bertemu (alm.) artis senior, Kris Biantoro, persis di depan pintu masuk. Klimis betul rambutnya! haha... Tentu saja bukan itu yang membuat kami terkesan. Perasaan ketika hadir lalu bisa berdoa sepuas hati, sepuas pikiran, berzikir serta berdialog dalam hati kepada Bunda Maria secara pribadi rasanya...luar biasa!




Apapun agama mu,
Itu bukanlah agama yang merendahkan agama yang lain


Berkunjung kemari, setidaknya perlu menyiapkan tenaga. Ini karena letaknya di atas. Turun di Terminal Ambarawa, memang tinggal menyebrang lalu menyusuri jalan menanjak yang cukup menantang stamina. Apalagi kalau menggunakan moda transportasi besar seperti bis (otomatis berhenti di Terminal) dan tiba pagi-pagi subuh betul seperti kami. Terpaksa berjalan kaki sambil menahan dinginnya udara pagi. Sedang untuk mobil atau bis kecil setidaknya masih bisa. Nanti parkir di area parkir sekitaran Gua. Hmm, capek? Lumayan. Anggap aja deh olahraga menghilangkan kantuk hehe. Semua tergantung niat. Ibaratnya tengah melakukan Jalan Salib, berdialog dalam nurani merenungi jejak Tuhan menuju bukit Golgota. Momok lelah pun serasa menghilang. Terkecuali kalau memang stamina yang tidak lagi fit dan usia tidak lagi memungkinkan ya. Kalau datangnya siang, kita bisa menggunakan jasa ojek atau angkot yang bersewileran. Biaya per orang bisa sekitar 3-ribuan, naik-turun ya kali dua. Lebih enak lagi kalau rombongan, cepet penuh jadi angkot tak perlu lama ngetem. Ada sebuah saran menarik dari penduduk sekitar yang saya dengar, lebih baik kemari disaat musim kemarau karena hawanya justru adem, sebaliknya di musim hujan malah panas bikin keringetan. Nah lho, boleh percaya atau tidak.... *pasang muka heran pas keringetan disana...*

Bagi pecinta kuliner yang lapar, ada warung pecel enak di depan jalan masuk menuju Gua Maria atau tepatnya pas di depan terminal. Jadi jangan buru-buru naik atau bisa juga mampir ketika turun. Makin mantap kan, plong hatinya lega perutnya... :D





Di pintu masuk terpampang lah tulisan Latin "Per Mariam Ad Jesum" artinya bila diterjemahkan, Melalui Maria Kita sampai kepada Yesus atau Menuju Yesus melalui Maria. Kalimat yang terasa pas meneguhkan perantaraan Bunda Maria ya. Ruangan berteras serta sebuah Kapel menyambut siapapun yang telah masuk. Di Kapel ini kita bisa mengikuti misa / perayaan Ekaristi. Soal jadwal bisa ditanyakan. Melangkah lebih dalam, kita diundang untuk meleburkan diri dalam keheningan berdoa di perataan Gua Maria. Sekedar mengingatkan, jangan lupa untuk terlebih dulu membeli lilin atau rangkaian bunga segar di kios/toko alat rohani yang berada di luar Gua. Atau bawa sendiri dari rumah. Berdoa disini jadi momen yang paling meneduhkan bagi saya. Adem rasanya bisa bercakap-cakap dengan Bunda Maria. Mau doanya sambil selonjor, duduk sopan atau bersila sah-sah aja. Asal jangan terlalu santai, bawaan ngantuk. Mau lebih kidmat, bisa ber-adorasi dalam ruangan khusus [Foto Atas] atau melakukan prosesi Jalan Salib tentunya semakin mendamaikan batin.








Puas berdoa dan menyelami batin dalam keheningan, rombongan kami memilih mandi lebih dahulu. Perjalanan jauh pastinya bikin kucel. Fasilitas toilet /kamar mandi pria-wanita sudah disediakan dalam jumlah banyak jadi antrinya tak perlu lama. Airnya bersih, namanya juga air gunung, brr...dingin sih udah pasti...biar begitu mendingan mandi saja. Setelah makan dari paketan yang dibawa sendiri, lanjut menyegarkan mata dan semangat dengan memandang hamparan taman yang luas, hijau nan asri. Benar-benar meneduhkan. Tak salah kalau datang kemari pagi-pagi sebab makin asyik menikmati bersamaan dengan hangatnya cahaya matahari berbaur dengan udara pagi yang masih sejuk. Di taman ini juga bisa ber-napak tilas beberapa kejadian yang menampilkan kisah Yesus dalam replika patung-patung yang diletakkan di beberapa sudut taman. Seperti Kisah Yohanes 2:11, mukjizat Yesus mengubah air menjadi anggur dalam pesta perkawinan di Kana. Lalu, Matius 3:13-17 ketika Yesus dibaptis di sungai Yordan, benar-benar digambarkan di tengah kolam berisikan ikan-ikan koi cantik. Bernapak tilas loh, tapi sungguh taman ini memang ya asyik sih untuk ber-foto-foto. mau berpose lagi berguling-guling ria ala Syahrini di rerumputan pun sah-sah wae... :D








































Usai berbenah, ada satu tempat yang saya pun tak sabar ingin melihatnya langsung. Tidak jauh. Dari pintu masuk menyebrang saja ke belakang area parkiran. Jalan berpaving dan sedikit berumput seakan menjadi penanda tapi toh, mendongakkan kepala saja sudah cukup. Ya, keberadaan Patung Bunda Maria yang disebut dengan Bunda Maria Assumpta tampak benar-benar raksasa. Semakin dekat ya semakin mendongak 45 derajat deh. Patung setinggi 42 meter ini, termasuk penyangga setinggi 19 meter, disebut-sebut menjadi patung rohani tertinggi di dunia mengalahkan rekor yang sebelumnya dipegang di Bulgaria dengan ketinggian 32 meter. Bagaimana rasanya melihatnya? Tentu saja kagum melihat ukuran dan detail bagian depan. Dikelilingi tiga malaikat kecil dan pendar cahaya di atas kepala, Bunda Maria terlihat menawan meski ada yang nyeletuk kalau hidungnya kurang mancung hihi... Ah, ini saj sudah membuat takjub. Penyangga Patungnya sendiri tak kalah menawan. Dibawahnya, tiang-tiang putih bersepuh emas di ujungnya lalu sebuah kubah cembung melingkar apik membingkai gambar-gambar layaknya lukisan menggambarkan beberapa poin dalam kehidupan Yesus sedari lahir hingga wafatNya. Terlihat kokoh dan dipercantik dengan keberadaan kolam kecil melingkar dan paga pembatas. Pemakaian batu alam memainkan tekstur dan menyatukan dengan alam sekitar. Kalau tidak mendekat, saya takkan menyadari bahwa kubah itu berada lebih rendah lagi.













Kekurangan? Memang kalau melihat sekeliling juga letaknya terbilang agak jauh dari Gua, serasa ada sesuatu yang kurang. Atau barangkali ini menambah keheningan para peziarah? Entahlah... Mengamati area sekitar yang barangkali ke depannya masih bisa dikembangkan seperti apa secara bertahap. Yang jelas, bisa melihatnya langsung membuat saya juga rombongan merasakan satu sukacita lagi yang siap menyemangati hari-hari seusai dari sini...

Salam Maria
Penuh Rahmat
Tuhan sertaMu
Terpujilah Engkau...

Doakanlah kami






Dari GMKA, perjalanan kami berlanjut menuju Pertapaan Rawaseneng. Atau biasa disebut juga Biara Trappist. Hal ini memang berasal dan didirikan oleh para biarawan dari Ordo Trappist atau Ordo Cisterciensis Strictioris Observantia (OCSO). Pertapaan ini terletak sekitar 14 km dari utara Kota Temanggung. Rawaseneng sendiri adalah sebuah desa. Tak heran tempatnya agak terpencil. Jalan masuknya cukup sempit, terlebih bila menggunakan bus besar dan berpapasan dengan kendaraan lain. Tapi sesampainya disana tempat parkirnya luas untuk menampung banyak kendaraan. Bergegas turun, kami semua langsung berjalan ke bawah menuju Gereja/Kapel. Jalannya curam, dan lebih melelahkan lagi saat kembali karena naiknya begitu menanjak. Senam kaki lagi....















Syukurlah kami masuk tepat 5 menit sebelum Misa dimulai. Keheningan adalah satu hal yang sangat dijaga. Siap-siap aja yang gaduh dikasih lirikan manja.. Saya memilih duduk di barisan depan ini sekaligus memuaskan rasa penasaran melihat deretan bangku-bangku para biarawan yang panjang. Jelas pemandangan yang berbeda dari Gereja umumnya. Sudah tentu altarnya jauh lagi di depan. Tak lama satu-persatu para biarawan itu masuk lengkap dengan jubah mencerminkan para biarawan. Tapi kalau dilihat-lihat ada juga yang berpakaian kasual. Yang membedakan Misa / Perayaan Ekaristi disini dengan umumnya, adalah semua lagu yang dinyanyikan menggunakan bahasa latin. Semuanya. Mumet mumet seru serasa Misa dimana begitu ya.. *dan pura-pura sok bisa hehehe... saya sendiri menambah kekaguman pada organis-nya karena lihainya mengiringi vokal para biarawan yang lembut namun soulful. Menghanyutkan betul... *eh nggak sampai hanyut beneran sih... Hal lain, tidak bisa jongkok. Karena memang desain kursinya  seperti itu. Saya sendiri penasaran apa iya tidak diperlukan jongkok? Kalau diperhatikan lebih detil memang ada segaris panjang, mau dicoba ragu karena pastinya menyakitkan lutut. Terlebih pada bagian sebelum ekaristi atau doa syukur agung, umat ya tetap berdiri pada prosesi mengatupkan tangan. Bagian persembahan juga ditiadakan. Ironisnya, meski menyenangkan, tetap saja saya ngantuk saat mendengarkan homili....












Nampak adanya peremajaan, meski demikian arsitektur bergaya Belanda masih dipertahankan dan dipadukan secara baik dalam gaya modern-minimalis. Interior lampu-lampu gantung di dalam menegaskan sisi modernitas, stylish namun tetap dibimbing oleh siluet cahaya dari jendela berbentuk Salib di ujung /atas altar. Menarik sih, rasanya jendela berbentuk Salib itu seakan memang bersinar menerangi dan menjaga setiap umat yang didalamnya. Begitu juga Tabernakel-nya yang bergaya ukiran jawa. jadi tidak serta merta semua berbau kebarat-baratan. Sebuah taman kecil dengan Patung Yesus berdiri tegak di dekat Gereja. seakan menjadi oase kecil. Berbatasan langsung dengan toilet dan bangunan lain yang saya kurang tahu untuk apa dan menuju kemana. Memang tak sempat mengeksplorasi termasuk melihat lebih dekat peternakan sapi atau kebun kopi. Dalam benak sih, siang begini asri banget entah lain lagi kalau malam ya. Mungkin keheningan, kesunyian itu akan semakin terasakan. Beranjak keluar dari area Gereja, ada sebuah Taman Doa dan sesuai namanya, dipergunakan untuk berdoa atau mau sekedar berjalan-jalan saja ya silakan.














Balik ke atas *yakin deh seyakin-yakinnya pada mengeluh capek :D rombongan berteduh di bangunan Museum untuk menikmati santapan siang. Selain museum ini juga merangkap toko yang menjual beberapa hasil produk para biarawan disini, dari benda rohani hingga bermacam-macam snack seperti cookies, roti, kopi bubuk sampai susu segar. Susu tampaknya jadi produk yang paling populer. Dikemas dalam botol dalam beberapa variasi rasa. Ada juga susu kefir, itu sejenis yogurt. Soal susu segarnya memang enak. Meski doyan, saya bukan penggemar berat susu dan memilih tidak sembarangan minum karena perut yang sensitif. Tapi ya, sebotol yang langsung saya habiskan saat itu juga berasa kurang! *karena cuaca panas kali ya? Sebotolnya dihargai 10 ribu rupiah dan kalau dibawa pulang maka sebaiknya tidak lebih dari 2 hari. Selain susu, saya juga mencoba membeli choco cookies nya. Enak juga, terasa nyoklat serta ringan di dalam mulut. Variasi lain ya lidah kucing, kastangel sampai semprit. Dan jangan lupa juga berfoto dengan Patung Malaikat St. Rafael *berdebat dalam hati, Rafael atau Mikhael ya?* 

Berakhir sudah perjalanan singkat. Anyway, just info bagi yang berminat datang kesini untuk menepi merasakan keheningan bisa kok menginap. Pemesanannya harus jauh-jauh hari agar kebagian kamar. Satu kekaguman saya lainnya adalah banyaknya waktu berdoa para biarawan disini. Salah satunya rutin berdoa sebanyak 7 kali dalam sehari! Hmm hay ngaku siapa yang kadang-kadang 5 menit aja udah menggerutu? :D Last but not least, dalam singkatnya waktu... Berziarah. Menapak tilas. Merasakan keheningan dan meresapi kesunyian mendengarkan nurani hati sebelum akhirnya kembali lagi ke hingar-bingar dunia. Perlunya sebuah Oase bagi jiwa. Oase yang mendekatkan kita pada Empunya dan menyegarkan jiwa yang layu.  Berkah Dalem.








0 komentar:

Post a Comment

 

Popular Posts

instagram me

THX4Visiting & Please :)

THX4Visiting & Please :)

Followers