Dalam perjalanan menuju pelabuhan Gilimanuk, ayah saya bercerita tentang sebuah gereja di daerah Negara yang ingin dilihatnya. Terbersitlah keinginan untuk sekedar mampir dan melihat-lihat sekaligus beristirahat sejenak dari perjalanan yang masih panjang ini. Lengkap sudah rasanya, ada suara di kepala saya yang bersyukur karena bisa mengisi kedua energi yang penting dalam kehidupan, jasmani dan rohani. Selama di Bali *eh ini juga masih di Bali* tentu saja saya menikmati keduanya. Rohani-nya ya menikmati beberapa waktu berkunjung ke Pura walau itu sekedar melihat-lihat saja. Ada kedamaian yang bisa dirasakan. Termasuk ketika bangun pagi dan melihat seserahan mungil yang selalu diletakkan di depan jalan itu pun bisa mengingatkan adanya kedekatan dengan Yang Esa dan alam. Kedekatan yang mengajarkan kita untuk bijaksana melihat perbedaan yang sebenarnya mengindahkan hidup kita.
Sampai di kawasan Negara kami sedikit kebablasan sampai akhirnya bertemu dengan orang lokal yang memberitahukan arahnya. Ternyata ada papan jalan yang tidak kami lihat toh. Jalan masuk ke gereja ini dari jalan raya terbilang cukup panjang. Sekitar 10-15 menit dengan kendaraan dan cukup luas untuk kendaraan besar seperti bus. Melewati kawasan perumahan yang lengang akhirnya terlihat bangunan besar yang menjulang tinggi. Gereja Paroki Hati Kudus Yesus Palasari namanya. Di depan gereja ini sendiri adalah lapangan berumput *bisa tuh main sepak bola* dan toilet yang terletak paling belakang. Untungnya kami sampai disana saat matahari belum lelah untuk bersinar. Saya sih happy masih ada kesempatan untuk jepret-jepret *sudah jauh-jauh juga*
Suasana yang lengang memang terasa. Tidak banyak kendaraan atau keberadaan orang-orang di sekitar gereja ini. Waktu melewati perumahan tadi pun saya tidak banyak melihat orang, hanya satu dua dewasa yang mengajak jalan anaknya dan sepeda motor yang lewat. Hal yang terlihat jelas -dan menarik- adalah pintu masuk berbentuk gapura setelah mendaki beberapa anak tangga. Didekatnya berdiri patung Yesus yang memberi identitas kuat selain atap bangunan yang menempatkan Salib di puncaknya. Kemudian -masih mendaki lagi beberapa anak tangga- disambut arsitektur bangunan gereja yang dominan berwarna putih krem dengan aksen gelap bergaya...Bali dan Belanda. Wah, tercengang rasanya melihat fusion alias akulturasi kebudayaan disini. Entah karena saya seringkali mengkaitkan Bali itu ya otomatis Hindu *maaf ya tidak bermaksud rasis lho, ini sebuah pikiran yang salah dan nggak boleh dibiarkan sebenarnya* dan itulah yang membuat saya takjub tapi juga luar biasa bangga melihat perpaduan yang saling melebur dan menyatu. Apalagi arsitektur Gereja itu biasanya lebih sering bergaya ke-Eropa-an ya. Penggunaan aksen dan relief dengan bahan kayu dan keabuan yang mendetail semakin memperindah bangunan. Setelah berjalan ke belakang rupanya lebih terlihat fusion tersebut, dari penempatan tekstur bebatuan yang tergores halus hingga cekungan serta bangunan pendamping di samping gereja *kelihatannya sih pastoral ya* itu sendiri menunjukkan ke-khas-an gaya Belanda. Apalagi setelah saya sempat masuk ke dalam, makin lah itu bangunan peninggalan Belanda kuno, yang sejujurnya terasa seram ketika saya masuk lagi untuk berpamitan pulang ketika hari mulai gelap *tahu kan nuansanya bangunan belanda, tapi entahlah saya sempat bergidik aja*
Yang disayangkan....sepi banget. Lengang. Pelatarannya sangat luas hingga ke belakang dengan suasana taman, dan selain itu masih ada makam para Romo dan gua Maria yang masih dalam pembangunan yang terletak cukup jauh dari Gereja ini. Hanya beberapa anjing-anjing besar yang menjaga dan bebas berkeliaran. Bersama ayah, kami berdua sempat mencari koster atau orang di sekitar situ yang barangkali pengurus. Terbersit niat untuk bisa berdoa di dalam. Setengah pasrah sih kalau nggak bisa. Sambil menunggu saya pun *yang masih sibuk jepret-jepret* baru tahu kalau gereja ini didirikan sejak tahun 1958. Sungguh usia yang sudah lama sekali ya. Sampai akhirnya meluncur masuk sebuah mobil yang mengangkut *koreksi kalau keliru* Romo atau koster yang baru saja melayani di tempat lain. Ah, akhirnya permintaan kecil kami terkabulkan. Masuk dari ruang belakang, hilanglah sudah rasa penasaran untuk melihat bagian dalamnya. Warna krem, pink terlihat dominan di dinding serta turquoise *warna yang nanggung antara hijau dan kebiruan itu lho* akulturasi etnik Bali dan Belanda pun terlihat jelas dengan adanya payung yang berada di sisi kanan kiri mezbah dan keberadaan lampu gantung yang didesain seperti lilin gantung *tadinya saya kira lilin, entah benar atau tidak, tapi kalau lilin beneran gimana kalau mencair mengenai orang* Sakristi tepat di belakang memutar terpisah menjadi dua ruangan. Langit-langit berkayu yang ditopang melengkung membentuk kubah. Uniknya digabungkan dengan helaian kain berwarna-warni yang dipasang berselang-seling menambah kompleksitas namun memberi keluasan yang lebih lembut *enggak tahu juga sih apakah itu dipasang begitu atau karena keperluan seperti pemberkatan pernikahan* Kelengkungan ini senada dengan jendela yang mengitari dan memberi cahaya alami ke dalam gereja. Menjadikannya terlihat lebih anggun. Seusai berdoa, saya iseng aja ke pintu depan, disambut patung Bunda Maria yang menopang Yesus yang diturunkan dari Salib. Dan perasaan meluas pun mengena saya, melihat arah sakristi /mesbah dengan dominan gaya Bali dengan cahaya yang berpendar menerangi. Puas deh mengamati. Saat hendak pamit untuk pulang *sekaligus mengucapkan terima kasih sudah diperbolehkan* kami malah kebingungan mencari-cari orangnya. Nihil. Sempat mengintip masuk ke dalam bangunan pastoral kok ya nggak ada siapa-siapa saat dipanggil *mungkin di dalam kamar ya* nggak enak juga masuk terlalu ke dalam tanpa permisi. Karena waktu juga terus bergulir semakin gelap, dengan berat hati hanya menitipkan pesan *yang ada disitu sih anjing-anjingnya, apa pamitan sama mereka aja ya...lol* dan pulang begitu saja. Meskipun hanya sejenak, perjalanan saya di Gereja Palasari ini meyuguhkan ketenangan yang ibaratnya seperti menemukan sebuah lukisan yang belum sepenuhnya tuntas. Sebuah permata yang terletak dalam keheningan dan tersembunyi dalam keindahan di Bali. Bukankah hal itu yang menambahkan nilai spiritualnya ?
menuju pastoral paroki
dalam gereja...
0 komentar:
Post a Comment