Antonio Blanco's - When Art not just a Museum but Identity



Kali pertama menjejakkan kaki di Ubud, saya jelas langsung merasakan suasana eksotisme yang berbeda dari keriuhan suasana pantai sepanjang Kuta dan kawan-kawannya. Sama-sama menarik, tetapi Ubud terasa lebih adem. Teduh. Keheningan yang samar-samar tercium seperti aroma kue yang baru saja merekah matang. Begitu juga ketika saya melewati -tepatnya saat menuju ke Ubud's Food Festival- sebuah jembatan -yang juga muncul di denah peta- dan ternyata ada dua. Bila yang satu adalah jalan raya dengan pemandangan sungai kecil yang meneduhkan maka jembatan satunya lagi lebih dibilang pas terlihat lebih 'fotogenik' dengan hadirnya jalanan papan kayu, kursi duduk dan lampu-lampu yang dipasang seakan menggantung bagai bunga terompet berwarna putih yang tertunduk malu. Masih ditambah lagi dengan adanya jurang kali dibawahnya dan guguran dedaunan yang serta merta menambah sisi eksotisme-nya *pasti cocok banget buat yang suka selfie, wefie, groufie dan fie-fie lainnya...saya sih apple pie aja deh...*ikutan jepret* 





mengintip ceritanya... peek and found this seems has a good ambience...

Ya donk nggak ketinggalan ambil foto juga sebelum kami memasuki museum disampingnya yang membuat darah seniman ayah-anak ini menggeliat. Well, better late than never kan? kali pertama ke Ubud juga kali pertama ke museum ini. Telat? Rasanya daripada berpikir demikian saya malahan senang akhirnya bisa juga kesini. Kalau ditanya kenapa sesenang itu? Entahlah...mungkin juga karena pengaruh ayah yang juga pelukis jadi pengaruh besar yang membuat saya mengagumi -siapapun- pelukis-pelukis yang menghasilkan karya-karya yang sepenuh jiwa. Saking semangatnya kami datang kepagian sekitar satu jam lebih cepat dari jam buka hehehe... Pagi itu saya juga mengajak mereka berjalan kaki alih-alih naik kendaraan *biar makin sehat* Awalnya sih sama sekali nggak ngerasain capeknya saat naik -bagi yang sudah pernah kemari pasti tahu kan jalan masuknya agak naik- hehehe baru setelah dering di perut berbunyi, ayah saya mengusulkan untuk kembali mencari makan dan kembali lagi kesini dengan kendaraan hehehe... *kok hehehe melulu ya*

Balik lagi. Sempat-sempatin hunting foto dulu deh mulai dari gerbang pintu masuknya yang terlihat hitam kokoh dengan nama sang empunya pelukis tertera jelas. Rasanya seperti disambut masuk ke dalam dunia seorang Antonio Blanco. Naik ke atas, di sisi kanan ada sebuah bukit dan berdiri semacam pura bertingkat *teringat pagoda* dan Pura di belakangnya -malunya oleh petugas disitu saya disuruh balik- sedang di sisi kiri terpampang luas lukisan alami berhiaskan atap dan langit membiru *dibawahnya tengah tercium wangi roti yang semriwing banget...duhh laper lagi* Sebuah gerbang bundar dengan tirai merah mencolok sebagai tandanya *ini kalau diibaratin ala lukisannya Pak Antonio itu gadis cantik berbaju merah atau berbibir merah ya...ahh keduanya sama-sama menggoda* menyambut masuk setiap pengunjung. Rasanya gerbang itu seakan tersembunyi namun menyembul dan memikat penasaran siapapun yang melihatnya *mistis kali*








 




Dari sini pengunjung dipersilahkan membeli tiket masuk lebih dulu. Lalu diarahkan ke kiri menuju sebuah taman yang luas. Didekatnya ada taman burung yang mempersilahkan pengunjung yang suka -dan mau- untuk berfoto mesra dulu *cantik sih tapi paruhnya itu mesti bikin merinding macem-macem* baru menuju ke museum atau galeri. Jangan lupa puas-puasin dulu mengamati ukiran ular naga yang besar banget di sisi tangga *tapi jangan kelamaan ya giliran malu diliatin sama petugasnya* Tiket yang tadi dibeli itulah yang nantinya disobek sebagai tanda bukti. Disambut oleh petugas yang murah senyum, kami pun masuk ke dalam galeri sembari dihimbau untuk baiknya tidak mengambil gambar di bagian dalam maupun lukisan *iya deh saya nurut* Masuk akal juga karena selain ikut menjaga ketertarikan bagi mereka yang belum pernah berkunjung ke museum/galeri ini, hal ini juga mencegah untuk tidak menyebarluaskan karya-karya yang lebih indah dinikmati secara langsung. Toh tanpa memegang kamera atau smartphones malah bisa lebih fokus mengagumi keindahan dan kualitas semua karya lukisan disini *datang buat menikmati bukan sibuk jepret kan?* Kalaupun ingin berfoto -alias meninggalkan tanda bukti- ada foto sang maestro yang dipajang di tengah pintu masuk, juga dibantu petugasnya kok *selfie dulu.. senyum ya pak Antonio...cheese~ eh?* Baru setelah itu puas-puasin lagi deh menatap, memandang, meresapi, menerawang, mengartikan *pokoknya lihat* keindahan goresan-goresan kuat, lembut, bergaya abstrak maupun penggambaran utuh yang digoreskan sang maestro selama hidupnya. Jangan kaget bila menyadari kalau karya sang maestro banyak menggambarkan sosok perempuan Bali tanpa busana *bugil...cuma bukan bule gila* Iya. Naked. Sangat ekspresif namun bukan hal yang vulgar -memang beda tipis bagi beberapa orang...mindset itu- membuat kita menyadari betapa sering beliau terinspirasi dan mencintai inspirasi yang bisa didapatnya dari ketelanjangan itu *bukan lagi nge-review lukisan ya* Lucunya, seperti yang saya bilang, saya mengenal karya-karya beliau dari ayah saya, dan itu masih di usia menuju remaja tanpa mengerti hal-hal semacam itu *ya positifnya sih terlatih tanpa sadar untuk bisa memahami mana ketelanjangan yang vulgar atau nyeni - yang bagi sebagian orang dengan cepat nge-judge itu tetaplah porno*

-lanjut.... simak dulu jepretan saya deh...-
















 
Ada juga penggambaran penari Bali sebagaimana cerita kehidupan beliau yang menikah dengan seorang penari Bali bernama Ni Rondji -yang namanya diabadikan menjadi nama restaurant yang dilewati sebelum membeli tiket masuk. Ada beberapa lukisan besar yang begitu terasa menghanyutkan. Apalagi selama di dalam galeri yang seperti kastil itu juga diperdengarkan musik / lagu berbahasa Italia *waktu itu sih O Sole Mio...berasa lagi di gedung orkestra, lol*  Dari lantai satu, pengunjung diarahkan ke lantai dua untuk melihat karya-karya lainnya. Kalau ada yang jeli, rupanya ada beberapa lukisan karya Mario Blanco, anak laki-laki beliau yang juga ditampilkan di dalam galeri semisal bertema buah-buahan -saya tidak akan membandingkannya- Di lantai ini pengunjung juga bisa melongok keluar teras di sisi yang berseberangan. Puas menikmati lalu turun kembali dan menuju ruangan lain. Karya-karya disini lebih berbau modern-art dengan isu-isu sosial yang entah apakah ini bagian dari kegemaran beliau di luar lukisan. Mengarah keluar pengunjung akan melhat foto-foto kehidupan, kenangan beliau bersama keluarga dan tokoh-tokoh besar. Saya sempat mengira usai namun nyatanya pengunjung diajak memasuki ruangan tempat beliau juga Mario melukis. Nuansa yang teduh, kertas-kertas yang berserakan, gambar yang tertumpuk dan cat-cat yang tersusun mengusang menambah kekentalan artistik di galeri ini. Satu hal lagi yang berkesan bagi saya, ada kisi-kisi jendela yang membiarkan cahaya masuk serasa indah dan memberi energi. Keluar dari situ, ada satu ruangan terakhir yang menjual cindermata dan memasang tempat dimana pengunjung bisa berpose seakan-akan tengah melukis dan silakan diabadikan sendiri. Rangkaian pigura-pigura elegan hitam putih disampingnya menjadi sebuah penutupan yang anggun mengantar ke pintu keluar.







Selesai? Jangan buru-buru karena pengunjung dipersilahkan menuju Ni Rondji Bar & Restaurant yang terletak lebih tinggi untuk mendapatkan free welcome drink *satu kata yaimut* disertai snack emping melinjo & kacang Bali yang gurih. Interior ruangan yang separuhnya outdoor terasa menyejukkan dipadu dengan kursi rotan minimalis berwarna gelap. Keteduhan itu semakin terasa dengan pemandangan lepas dan sebuah kolam memanjang bergemericik yang penuh koin di dasar kolam yang -katanya, waktu itu tanya sama waitres-nya- bisa mengabulkan harapan *mirip yang di Itali nih* Lempar juga deh. Harapan saya?...ya bisa kembali lagi kesini, kembali ke Ubud. Simpel kan? Barisan wine & menu tentu saja ada. Usai merilekskan diri -dan perut- bisa turun ke bawah. Ternyata terhubung kembali dengan taman luas yang pertama kali masuk *cerdik ya, semacam tour* Disini pengunjung akan menemukan sebuah pigura raksasa yang memang digunakan untuk berfoto. Puas-puasin deh, termasuk melihat bangunan rumah keluarga besar Blanco. Kejutannya, beruntung sekali kami bisa bertemu Pak Mario dan anak laki-lakinya -yang mewarisi nama sang kakek, Antonio Jr. *mimpi apa ya* senang aja kali pertama kesini tapi bisa bertemu. Keduanya juga begitu ramah saat diajak ngobrol dan berfoto untuk sejenak. Pertemuan singkat itu juga mengakhiri kunjungan kami ke museum ini. Saya pribadi menikmati berkunjung ke museum ini, bukan, bukan karena pertemuan tadi *emang iya* tapi bisa melihat lebih banyak sebuah pribadi yang goresan karyanya membekas bagi penduduk Bali dan pencinta seni. Sebuah museum dan galeri yang menujukkan identitas sekaligus cintanya. Yang mampu menjadi cerita yang selalu dikenang. *dan kekaguman datang bukan dari besar kecilnya seseorang tetapi bila mendapatkan kesempatan yang bisa menambahkan sebuah nilai yang berarti bagi diri sendiri dan orang di sekitarnya... that's why there's a word called precious.*












lempar koinnya...





just sit, relax and breathe....


one thing comes in my mind is... meow....
 
lempar koinnya.... and whisper your wish to be come true.... disini silakan lemparkan koin ke dalam kolam, mau 100,- 500,- tak masalah dan bisikkan permohonan siapa tahu terkabul...bagi yang percaya silakan, enggak ya dibawa fun aja...





haluan belakang... dari anak tangga di belakang lalu turun kembali menuju lapangan dekat pintu masuk. 
frame of narcissism?

one stone may just ugly, but when stay in togetherness, it reborn a beauty... it means sometimes you're alone, but even, you're important and part of its.







also read:


0 komentar:

Post a Comment

 

Popular Posts

instagram me

THX4Visiting & Please :)

THX4Visiting & Please :)

Followers