Ujub Hening di Candi & Gereja Ganjuran



Dalam sebuah ujub. Dalam sujudku.
Datang menghadapMu Tuhan, ku bersujud...

Sentimental banget ya? Tapi memang itu kalimat yang pas menggambarkan senangnya perasaan tiap kali kembali kesini. Kalau caption 'ujub hening' memang mengacu pada keheningan sebelum dan saat kita memohonkan ujub disini.

Gereja dan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus atau singkatnya, Gereja Ganjuran. Disebut Ganjuran, karena berlokasi di jalan bernama sama. Gereja ini masuk lingkup Keuskupan Agung Semarang. Keberadaan sebuah candi dengan Patung Yesus dalam rupa Jawa menjadikan tempat ziarah ini menonjol. Keberadaan candi itu sekilas tak lazim, namun menjadi bukti akulturasi kebudayaan dan agama. Sebuah akulturasi yang bisa menjadi contoh bahwa perbedaan itu mengindahkan satu sama lain, mengingatkan tanah dimana berpijak sekaligus menghargai kebudayaan tersebut. Sejarah Gereja Ganjuran selengkapnya disini.








Tidak seperti tempat ziarah lain atau semisal Gua Maria Sendang Sono yang kebanyakan berada di wilayah dataran tinggi sehingga otomatis akses jalan dan lokasinya menanjak. Gereja Ganjuran seluas 2, 5 hektar. Lapangnya sendiri baru terasa ketika masuk ke dalam. Dari luar, peziarah akan disambut batu candi bertuliskan nama Gereja dan pintu gerbang candi berukiran burung merpati dan kepala Yesus. Sementara disisi kiri terdapat sejumlah toko/kios menjual barang rohani dan cemilan seperti umumnya ditemukan di tempat ziarah lain. Menuju ke dalam disambut tulisan Berkah Dalem. Sebuah sambutan yang mengademkan hati bukan? Maknanya kurang lebih sama dengan Deo Gracias, dalam bahasa Latin, yakni 'Tuhan Memberkatimu'.













Suasana keramaian langsung saya temui siang itu. Karena pernah datang di waktu pagi juga malam, keramaian yang saya temui tak jauh berbeda. Sebuah bangunan joglo besar menjadi jujukan favorit untuk melepas lelah dan penat sembari bercengkerama dengan rekan, kawan atau saudara. Suasana rindang dan teduh sebenarnya sudah terasa dengan kehadiran pepohonan yang menjulang tinggi. Suasana saat itu cerah, sedikit panas dan berangin. Berseberangan, ada gedung pastoral beredekatan dengan Joglo Gereja. Lho, Gereja berbentuk Joglo? Ya, sama sekali tidak berpintu atau tertutup. Jadi kapan pun kita mau, sekedar duduk atau berdoa tidak ada yang melarang. Sama sejuknya. Arsitektur Gereja begitu menawan hati dengan arsitektur, dekorasi dan ornamen Kejawen menyempurnakan akulturasi budaya yang detail dari segala ujung. Tidak lupa keberadaan alat musik seperangkat gamelan yang seringkali dipakai untuk mengiringi Misa. Etnik dan indah sekali. Semakin menawan dengan keberadaan lampu gantung bertingkat yang menyala keemasan di depan altar yang semakin menambah kedamaian yang megah namun membumi. Percayalah, kalau datang/mengikuti misa di malam hari, semarak itu semakin terasa hingga menambah haru dalam hati. Arsitektur gereja ini sebenarnya merupakan rebuild alias dibangun ulang setelah gempa bumi yang melanda Yogyakarta di tahun 2006 silam. Apakah suatu berkah di balik peristiwa? Mungkin saja.






Memejamkan mata...
Mencoba mendengarkan suara hati sendiri
Seberapa banyak kah yang bisa kudengar
Ketika terkadang kita disibukkan oleh mahalnya hidup ini
Bahkan disini tiada berpintu
Agar tak malu untuk sekedar mengetuk
Hanya perlu keberanian dan ketakutan
Melangkah lah, menemukan cahaya yang selalu menuntun hidup
Bukankah kita ini pelita?
Tadinya aku ingin memotret diri sendiri sedang berdoa
Tapi alih-alih keren, kusadari, bukankah disini kita semua sama
Bukan ada aku atau terpesona oleh figur mu atau sekedar keren nya status
Mampukah aku melihat kedamaian
Surga dan neraka, hanya mereka yang telah pergi yang tahu rasanya
Untuk kita yang masih hidup, apakah hari ini belajar untuk menikmatinya?

Ketika sebuah kekosongan menjadi keindahan
Bahkan saat membuka mata dan menyadari diri ini tak beranjak
Menikmati kebahagiaan melihat Mu tetap menerangi ku
Mengagumi lentera yang tak pernah lelah Kau sinarkan
Dan tak lelah ku dalam setiap tarikan nafas

Pada suatu pagi, ketika aku merindu merasakan surga-MU, ya Tuhan....


Seperti umumnya keberadaan PatungYesus dan Bunda Maria. Menariknya, kedua rupa patung ini dibuat dalam versi Jawa senada penulisan namanya. Patung Yesus yang digambarkan duduk persis dengan yang ada di dalam candi.

Di kedua samping gereja terdapat bangunan pastoral yang terpisah. Lebih teliti, pada bagian samping gedung kita bisa menemukan papan keterangan jadwal misa yang diadakan. Mengikuti misa harian atau Misa khusus disini cukup menantang lho. Antara terkagum-kagum sekaligus melongo dikarenakan penggunaan bahasa Jawa atau kromo alus. Yang mana tak semua orang/peziarah familier dengan bahasa daerah tersebut. Seru. Beberapa lagunya dinyanyikan dalam bahasa Latin yang serta merta membuat saya tersihir. Tempat duduk yang disediakan banyak termasuk di sisi kanan Gereja disediakan tempat duduk luar. Ini untuk mengantispasi banyaknya peziarah yang mengikuti Misa. Tak hanya Misa pagi yang terasa sejuk dengan udara yang masih bersih dan sejuk, mengikuti Misa di malam hari juga menyenangkan *dengan setengah merem melek hehe.... karena suasana yang makin semarak dengan terangnya lampu-lampu di dalam Gereja. Lebih jelasnya bisa dilihat DISINI ya. Sayang, belum kesampaian kesitu lagi pas malam. Dulu sebelum nge-blog memang pernah. Urusan menginap tak jadi soal karena bisa tidur-tiduran entah di dalam kendaraan yang diparkir di dalam atau di joglo sambil menggelar tikar. Dingin tapi asyik, lalu bangun pagi-pagi buta untuk berdoa dan menghaturkan ujub di dalam candi Yesus. Di malam hari suasana Ganjuran tetap terasa teduh temaram namun terang benderang. Jauh dari kata ngeri. Buat yang berdoa makin khyusuk. Satu lagi -nggak ada hubungannya sih- urusan kuliner mungkin cukup susah tapi ada beberapa penjual sate kelinci di depan gereja hanya di malam hari. Juga penjual kopyor di siang hari -meski tak selalu ada- Untuk urusan kebersihan, bagi yang ingin mandi dsb disediakan ruangan shower dan toilet dibedakan lain jenis. Jumlah kabinnya tidak banyak memang namun luas dan bersih. Satu-satunya yang kurang adalah toiletnya. Bersih sih iya tapi terkesan lembab. Entahlah, kurang sreg aja saya meilihatnya. Harapannya semoga ke depannya bisa direnovasi lebih baik.

Di sisi kanan candi terdapat rute perhentian Jalan Salib.


Toko yang menjual benda rohani berada di sisi kiri candi sekaligus depan pancuran air.


Bagaimana caranya untuk berdoa di Candi?

Tak ada aturan atau seremonial khusus sih. Hanya ada baiknya bagi umat/pribadi yang hendak memohon ujub/syukur di candi terlebih dulu merasuk dalam keheningan. Entah dengan berdoa atau sekedar hening. Duduk saja di sekitaran luar candi. Banyak kursi disediakan disitu. Mau gelar tikar juga boleh lho hehe...toh inilah saat memusatkan batin kita sebelum menghadapn-Nya. Suasana rindang dan tenang selalu ngademin hati.

Ada satu hal lain yang biasa saya lakukan, yakni membasuh wajah, tangan serta kaki di kesembilan pancuran air yang terletak di sisi kiri candi atau dekat/depan toko yang menjual barang rohani. ada candi-candi kecil disitu. Caranya mulailah dari sisi paling ujung kemudian berulang hingga yang terakhir. Mirip wudhu dalam agama Islam. Pembersihan ini bukan cuma simbolis saja loh, membersihkan hati dan menyegarkan pikiran *atau cuci muka biar tetep kece wkk... Lucunya saya pernah ikutan keki ketika ada orang menyerobot cuci di satu pancuran saja. Lama sekali dan nggak menyadari antrian orang yang sudah setengah melotot di belakangnya *maklum karena nggak semua orang tahu cara tersebut. Meminum airnya pun boleh bahkan saya malah sengaja. Airnya berasal dari sumber mata air yang ada di dekat candi jadinya jernih dan bersih *err..bersih secara mata telanjang sih lol... Banyak juga yang membawanya pulang sebagai air yang dipercaya memberi kesembuhan / pemulihan. Sebaiknya bawa wadah sendiri. Soal percaya atau tidak, itu semua tergantung iman kita *karena terkadang sembuh itu tidak berarti semua melainkan pemulihan atau keringanan hal /beban berat yang kita alami... Bahkan pernah ada yang nyeletuk, kalau mau sembuh ya harus percaya! hehehe inggih..dalam hati langsung saya amin-in! :)

Saat naik ke candi, alas kaki harus dilepas sedang tas / barang berharga bisa dititipkan. Ini kalau datang bersama teman/saudara. Kalau nggak ya dibawa aja. Duduk mengikuti urutan orang-orang yang sudah lebih dulu disitu. Iya, mengantri, ini juga salah satu hal dimana kita belajar berlatih kesabaran dan kasih. Sekedar tips, karena saat siang teriknya matahari cukup mengena, apalagi pas cerah, makanya saya lebih memilih datang pagi-pagi sekali atau sekalian menjelang sore. Kalau tidak mau kepanasan atau serasa 'dipanggang' sembari menunggu ya. Kalau pas sepi tak masalah, tapi kita tak pernah tau berapa banyaknya peziarah yang datang juga terkadang yang berdoa cukup lama -yahh...lagi-lagi ujian kesabaran. Kalau naiknya boleh sendirian atau bebarengan, paling banter ya berdua *kebanyakan ntar ngobrol woii.. :D Begitu di atas saya selalu duduk ala 'seiza' yang sekali lagi melatih kesabaran melawan pegel-nya duduk melipat kaki ala Jepang tersebut. Usai berdoa, jangan berbalik ketika turun melainkan mundur, jadi tanpa membalikkan badan. Pelan-pelan saja kalau takut terjungkal. Entah apa alasan tepatnya, tapi ini mengingatkan saya pada toto kromo (tata krama) ketika seorang abdi dalem menghadap Tuannya (di Keraton, misalnya) seperti itu gambarannya akan kesopanan kepada jujukan kita.


Puas menyampaikan ujub, kadang saya memilih berdoa lagi sejenak. Bukan sok religius sih, tapi saya mensyukuri ketika memiliki serta masih diberi kesempatan untuk ber'cengkerama' lebih lama dengan Sang Hyang Widi. Hitung-hitung memanfaatkan waktu. Pertama, jauhnya menempuh perjalanan menuju kemari, setidaknya 5 jam lebih dari kota kelahiran saya ke Jogjakarta. Kedua, Ganjuran sendiri cukup istimewa dalam beberapa momen kehidupan saya, beberapa permohonan terkabul atau setidaknya mendapat petunjuk terang, salah satunya kelancaran menyelesaikan skripsi yang seringkali jadi 'momok' karena tumpukan revisi yang tak kelar-kelar bagi kebanyakan mahasiswa. Puji Tuhan aja, lancar berasa jalan tol! *disamping niat dan fokus :D Tapi bukan itu intinya saya merasa istimewa. Apapun hasilnya, ketika kita berdoa dan memohon dengan ketulusan dan berjuang sungguh-sungguh, percaya Tuhan akan menjawab doa itu indah pada waktu-Nya. Dan ketiga, ketika masih diberi kesempatan dalam kemudahan. Teringat cerita orang yang dulunya sehat tetapi kini lumpuh, sakit-sakitan hingga tidak sanggup lagi kemana-mana. Yang bikin nyesek, kerinduannya untuk melakukan hal-hal yang ingin dilakukan ketika dulu kesempatan masih dimilkinya. Sadar bahwa tidak semua dari kita setiap saat bisa kemari sesuka hati, bahkan menyadari susahnya membagi waktu yang saya yakin semua orang merasa kurang 24 jam saja. Ini juga bukan hal yang buruk, karena dengan begitusaya malah bisa 'menabung' kerinduan sampai mencurahkannya saat kembali lagi kesini. 

Karena sebuah doa adalah sebuah pengharapan...
Bukankah Tuhan itu baik?



0 komentar:

Post a Comment

 

Popular Posts

instagram me

THX4Visiting & Please :)

THX4Visiting & Please :)

Followers