<body oncontextmenu='return false;' onkeydown='return false;' onmousedown='return false;'>
Apakah kamu punya Tuhan...??
Pertanyaan itulah yang terus berputar-putar dalam benakku. Ketika senyuman mentari memuncak mengibaskan keringat dan peluh di sekujur tubuhku, sial... aku mendesah. Memangnya aku keliatan seperti seorang atheis gitu? Memangnya kau pikir aku tak pernah berdoa? Memangnya... memangnya... bla bla dan segala pertanyaan seakan ingin menerobos jantungku yang berdebar semakin cepat.
Aku mengumpat lagi, memangnya siapa kamu? Apa kamu juga lebih baik dari aku? keluhku. tapi embusan angin yang bersiul sepoi meredakan kegelisahanku untuk mengungkap lebih banyak pertanyaan untukmu. Sepertinya kesadaranku bersuara, hei, kalau kau lakukan itu, kau sama saja dengannya!
Baguss... sekarang aku berdebat dengan diriku sendiri. Meski, memang.. kebenarannya, aku tak mau itu satu-satunya hal yang benar tentangku.
Maaf kawan, pertemuan 12 hari kita adalah hal yang paling konyol. Aku tak bisa mengerti betapa cepatnya kau menganggapku seperti itu? Betapa mudahnya kau menanyakan hal semacam itu? Tapi sekarang aku tahu, betapa mudahnya kamu mengahancurkan pertemanan yang hanya selusin, karena, kalau kita ini ibarat donat, seperti yang selalu laris dibeli tiap harinya oleh banyak orang di sebuah outlet plaza, haruskah aku bertanya-tanya, aku donat yang seperti apa? Aku tidak yakin... tapi aku juga tidak akan menanyakan hal yang sama untukmu. Bukan berarti karena aku tidak tertarik mengenalmu, tapi apakah itu cukup memuaskanmu? Haruskah aku menjadi donat dengan lapisan coklat yang mengilap berlapis krim yang lembut, wangi dan menggoda siapapun yang memandangku, hei, hei, kurasa itu bukan aku, lebih baik beri aku sedikit irisan buah sebagai pemanis donatku yang tawar agar orang selalu mencarinya. Ataukah kamu akan puas kalau melihatku seperti green tea dengan lapisan bubuknya yang membuat orang cepat-cepat mengunyahnya karena pahit? Oh, aku sadar kurasa itu sama baiknya, kalau aku bisa menjadi seseorang yang menyembuhkan, mungkin aku akan menyodorkannya lebih dahulu kepadamu agar kau tahu betapa sulitnya sebuah pertemanan tanpa kepercayaan. Sudahlah, pada akhirnya aku menelanmu dan kamu menelanku, kalaupun kamu memilihnya..
Aku beranjak berdiri. Beristirahat sejenak melepas lelah dan kegalauan karena ter-ilusi mentari yang memanaskan otak adalah pilihan yang tepat. Aku menggengam erat buku yang baru saja kubeli. Buku yang kau perdebatkan supaya aku memilikinya, dan, ya, kubeli. Puas? Lol kamu pun tak pernah tahu dan tak peduli. Judulnya, seperti caramu menghinaku, menohok. ABT alias Ada Berkat Tuhan. Sial, teringat lagi olokanmu. Sekarang baru terasa itu menyakitkan, kenapa kau tega menanyaiku, Anda Butuh Tuhan? Apa kah itu pertanyaan yang paling pas? Apa mukaku terlihat begitu tolol untuk perlu menjawabnya? Lol, kalau aku bertemu denganmu lagi, aku akan bilang, Awas Balasan Tuhan. Aku nyengir, ah pasti, pasti akan kuingatkan untukmu. Dan tiba-tiba saja senyumku yang masih menyeringai kehilangan mood-nya. Aku baru separuh jalan dari tempatku duduk tadi dan mendadak aku merasa sangta berdosa pada diriku, pada Tuhan juga, aku yakin Dia nimbrung mendengar setiap keluh kesah ini. Hei teman, walaupun... walaupun begitu, entah kenapa aku tak punya daya untuk membencimu. Aku tak jadi meledek diriku orang baik, tapi sepanjang hari ini pun aku menyadari ada keheningan yang berteriak, menghentak dalam hatiku. Sesuatu yang mengesalkan. Sesuatu.. yang membenarkan setiap perkataanmu. Tentu saja aku marah, tapi bukan kekesalan ini yang terpenting untuk kurasakan bahkan memikirkanmu, tapi aku jadi mengingat Tuhan, karenamu.
Tuhan itu baik, enggak.. kalau Dia baik kenapa mengirimkan orang sepertimu jadi temanku? begitu respon suara hatiku yang lain, dia menggugat. Atau terlalu terpesona kepada Tuhan?
Tuhan itu murah hati... dia terdiam, yah bukankah kenyataannya begitu banyak manusia yang jual mahal kepadaNya?
jadi inilah pertanyaanku sepanjang perjalanan hari ini, apakah untuk bertemu Tuhan aku harus melalui kamu? Dan kurasa.. satu lagi kebenaran yang menguap dalam benakku, karena aku telah mengingat Tuhan melaluimu, kurasa satu-satunya caraku berterima-kasih adalah memaafkanmu... Aku berhenti. Seakan tak percaya. Ingatan-ingatan 12 hari berteman denganmu baru saja menguap, rasanya seperti membakar semua perasaanku menjadi satu. Bukankah kamu marah? Masih ada suara yang menyentil. Kurasa... aku pun tak luput menjadi salah satu dari mereka yang masih jual mahal untuk melakukannya... Bukankah Tuhan itu memang baik? sela suara lain dalam hatiku. Sudah saatnya mengakhiri pemberontakan dalam hatiku yang hanya menyayat otot-otot nuraniku. Aku berjalan cepat menuju kediamanku. Kupikir, mungkin aku tak lagi menjadi donat begitu juga kamu, karena kita telah habis memakannya. Mungkin kita juga takkan bertemu lagi, bahkan aku ragu apa kita akan saling menyapa di lain kesempatan. Atau jangan-jangan kau telah membuangku. Menjadi orang asing yang telah mengubur semua waktu yang takkan bisa diulang, melebihi 12 hari atau bahkan terlupakan tahun-tahun setelahnya. Entahlah... Aku tidak merasa sakit. Sedikit. Tetapi aku menyadari semua butuh waktu untuk berubah menjadi kenangan yang baik dan aku akan memulainya dengan membaca habis buku yang kaupilihkan dengan seluruh tertawaanmu itu kawan. ABT.. Andai Benar (ya) Tuhan, sepertinya diam-diam hatiku ini mensyukuri sesuatu yang mungkin terlambat untuk kusadari. Sesuatu yang baik untuk terlambat kusadari. Atau mungkinkah, semua indah pada waktuMu. Hei kawan 12 hari-ku, ABT? rasa-rasanya memang benar-benar.. Ada Berkat Tuhan...
0 komentar:
Post a Comment