Love Story In the Downtown Bakery Shop




Sebagai penggemar roti entah kenapa saya selalu terkesima setiap kali melewati atau masuk ke dalam toko roti atau bread shop deh kerennya hehe. Lalu melihat jejeran berbagai macam, rupa dan aneka roti, pastry dan desserts yang mau tak mau memikat mata dan memancing rasa lapar. Entah itu soal interior yang klasik, jadul kalau kata orang, sampai yang didesain mewah dan minimalis bahkan kalau menemukan pintu masuk yang terkesan kokoh rasanya itu seperti menyimpan harta karun di dalamnya. Belum lagi kalau indera penciuman kita dicubit oleh wangi yang diam-diam membual mengajak kita untuk membeli.... Nah loh... Kali ini, sambil membawa suasana yang seperti itu, aku turut menulis sebuah cerita pendek tentang kebahagiaan sebuah keluarga dengan sedikit sepotong roti. Ya, dari sepotong roti untuk semua pecintanya...

(note: you can translate it via Google translate, though some words may not exactly fine in meaning. I would like to release the English version sooner. yes, would be nice get help by anyone :))



I wanna asking you...
Have you ever use a love flour
To make a delicious heart cake

Chapter One

Hari itu... Toko roti di kawasan pusat kota tampak ramai. Tercium harumnya wangi roti yang baru saja dikeluarkan dari oven. Menyala dalam warna keemasan mereka. Sementara di bagian yang lain, beberapa orang dengan pakaian yang seragam berjalan cepat-cepat seiring tangan mereka menekan lembut seperti menyentuh bayi. Hari itu sungguh ramai, diskon menjadi kabar burung yang dengan cepat menjadi umpan bagi beberapa orang, sebut saja penggemar di luar toko yang diam-diam tak menyadari betapa hidung mereka maju dan ujung mulut mengintip dengan liur sementara mata mereka berbinar. Terlebih ketika mereka menyadari betapa menariknya para bayi yang baru saja muncul di hadapan mereka...
"Ini surga." seorang pria berdasi tiba-tiba berbisik pada seorang pengunjung lain di dekatnya. Mereka bertatapan. Mencoba membagikan rasa antusiasnya. 
"Aku juga mengantri." imbuhnya. Setelah dipikir-pikir tampaknya tak sopan bila tak menjawabnya
"Apakah kau sudah mendapatkan tiket?" tanyanya lagi
"Tiket?"
"Ya. Maksudku, pesanan." Ia tersipu namun lekas memalingkan wajah dengan cepat.
"...Tentu." sahutnya. Dengan sedikit berpikir apa lagi yang diinginkannya. Ah... Ia menoleh. Ia sadar pria berdasi itu berpaling muka karena bau yang lezat ini. Croissant...
"Apa kau juga menginginkannya?" Sekarang ia yang balik bertanya.
"Hmm.. aku lebih memilih coklat."
"Aku suka keju."
"Kalau begitu kau suka Cheesecake?"
"Aku dengar itu tidak baik untukku. Kue berlapis krim dengan keju diatasnya sudah enak. Omong-omong..?"
"Hmm?" Laki-laki berdasi itu menoleh kepadanya sembari maju satu antrian.
"..Tidak. Hanya heran saja." ucapnya segan. Tidak ada jawaban.
"Barangkali." laki-laki berdasi itu menjawab kemudian."Barangkali karena bau roti yang enak dan kue-kue lezat."
"Kau sering kemari? Tapi aku tak pernah tahu."
Dia menggeleng. "Tidak. Ini pertama kali tapi juga kedua kalinya bagiku." jawabnya. 
"Maksudmu?" Mereka berjalan maju lagi. Semakin dekat untuk memesan.
"Ini pertama kalinya bagiku setelah menikah. Kedua, aku pernah kemari." terangnya. Matanya kini ikut berbinar tapi dalam hal yang berbeda.
"Begitu... Jadi apa yang terjadi?"
Dia menggeleng. "Banyak hal. Kepindahan. Oh, boleh aku bercerita?"
"Tentu. Setidaknya sambil kita menunggu bukan?" Kalau pun kau tidak keberatan." jawabnya tersenyum singkat pada laki-laki berdasi itu yang tertawa kecil. Katanya, seharusnya aku yang bertanya begitu.
"Singkat cerita, aku ingat pernah kemari sewaktu masih kecil. Saat itu, kurasa aku benar-benar bahagia ketika dibelikan sepotong roti perancis yang besar. Bulat, renyah di permukaan sisinya, dan perasaan... ketika melahapnya.. Sungguh, terdengar nikmat sekali."
"Hmm..aku bisa membayangkannya. Croissant mereka juga enak. Hanya dengan butter saja sudah nikmat."
"Benar kan." Menaikkan jemarinya menunjuk ke dalam bagian toko yang membawa kenangan itu. "Dan.. yah.. tapi itu juga menjadi roti yang terakhir kalinya aku makan bersama mereka." ujarnya.
"Apa yang terjadi kemudian?"
"Sebuah perpisahan. Barangkali sekarang itu bukan hal yang luar biasa. Tapi tentu saja menyakitkan untuk seusiaku. Siapapun." Ia berhenti. "Kami pindah sejak itu. Banyak hal. Aku bahkan tidak pernah memakan roti lagi sejak itu. Bahkan kemari pun, tiba-tiba seperti hilang ingatan." serunya. Mereka melangkah masuk ke dalam toko.
"Hmm.. terdengar sulit. Maaf bila aku membangkitkan kenanganmu."
Tertawa kecil."Tidak masalah. Waktu sudah menyembuhkan. Karena itu aku kemari lagi."
"Ohh.. Bolehkah aku tahu? Maksudku, aku terlanjur tahu." ucapnya. Sambil memesan dan menunggu roti yang baru matang.
"Hmm.." ia menunjuk." apakah kau tahu mengapa dasar rasa roti selalu tawar dan cake selalu manis? Aku belajar bahwa sama kehidupan sama seperti roti yang bisa diisi bermacam-macam rasa. Kehidupan adalah tergantung dari apa yang kita lakukan. Menjadi bahagia atau tawar sama sekali." Ia berhenti. Memilih satu lapis cake sebagai tambahan. "Dan cake yang manis pun... tidak bisa bertahan lama, bagaimanapun juga sepertinya hal bahagia bisa cepat sekali berlalu. Menikmati mereka secepatnya justru hal terbaik. Kenyataannya, hal yang pahit bisa berubah manis tergantung apa yang ingin kita tambahkan." ucapnya selesai berbarengan dengan selesai membayar.
"Apakah kau kembali memakan roti karena filosofi itu?"
"Sejujurnya..tidak." Ia menggeleng."Aku kembali lagi makan roti karena bahagia."
"Kau bahagia?" Dia mengangguk. Sekilas senyuman terlihat di raut wajahnya."Begitu ya. Bagaimanapun kenangan pahit berbuah manis. Kalau begitu... anak muda, karena aku lebih tua darimu, dan sebenarnya aku mengantri untuk membelikan istriku roti kesukaannya, aku akan memberimu ini." Ia mengambil satu kantong roti yang sengaja dibuka untuk mengusir uap panas yang masih mengepul tipis.
"Tapi..." Ya, laki-laki berdasi ini jelas lebih muda, dengan tatapan mata yang antusias. Ia mencoba menolak.
"Aku tak berterima kasih karena mau berbagi ceritamu. Terimalah. Anggap saja, ada satu lagi kenangan baik yang kamu peroleh disini." Menyodorkannya sebelum mereka berpisah."Kau tahu," sahutnya, sebelum mereka benar-benar berpisah, "Aku pernah berpikir begini, bau yang harum adalah semangat, dan kerenyahan seperti kejutan. Setiap kita memakannya, setiap itulah kenangan baru dibuat. Aku belum memakannya," menunjuk pada kantong rotinya, "Juga punyamu. Apapun itu, isilah dengan sesuatu yang baik. Nah. Sampai jumpa lagi." serunya. Kemudian berpaling meninggalkan laki-laki muda itu, ia terdiam sejenak, memperhatikannya telah menjauh pergi. Perlahan ia mengintip ke dalam isi kantongnya. Sedikit terkejut mendapati sebuah... roti perancis yang sama persis dibeli oleh orang tuanya untuknya! Kali pertamanya ia kembali, alih-alih ia merasa terulang. Tertegun. Baru sejenak kemudian ia menyadari maksud perkataan itu. Bagaimanapun juga semua tergantung apa yang mau kita tambahkan... Ia pun berjalan pulang, mencium wangi roti yang lolos terhembus oleh angin. Bukankah ini harum yang menyemangatinya sekali lagi...

The dough which beaten by loving hand
Mold with careful and remaining passion
When it baked, it smell so fragrance

Chapter Two

I heard a rumor
Even the oven is never changed the machine
It never broke because the hearty fire always burn good
Burning each side to looking so marvelous
I'm not kidding, have you ever heard?

"Selamat datang sayang." seorang wanita muda memeluk kekasihnya tepat di depan rumah. Ya, ia  menunggu.
"Bagaimana kau tahu aku sebentar lagi pulang?" tanyanya. Ia berkedip.
"Kau menggodaku? Memangnya berapa lama kita berpacaran?"  keluhnya sambil menepuk halus.
"Terima kasih. Ini untukmu." Memeluk kekasihnya dengan penuh mesra. 
"Ohh!.." serunya. "Bagaimana kau tahu?" Terkejut tapi sekaligus bahagia. Ia mencium suaminya sekali lagi.
"Sayang, aku merasa kita sudah menikah lama."
"Kalau begitu kau harus melamarku sekali lagi. Kali ini harus benar-benar romantis."
"Oh, sepertinya aku harus mengajakmu kencan sesering mungkin. Tapi kau tahu..."
"Aku tahu... " Nada kata-kata wanita muda itu sedikit berubah.
"Maafkan aku.." ucap si lelaki. Masih berpakaian lengkap dengan setelan jasnya yang tidak lagi rapi. hari itu dingin tapi mereka memutuskan berbicara di depan rumah. "Apakah itu sulit?"
"Entahlah..."
"Tapi aku mencintaimu.." Didekapnya dengan erat. Rasanya udara mulai dingin. Sore yang menjelang malam. Dan ia merasa lelah.
"Aku tahu. Dan ini karir pertamamu. Kau mau separuh?" ujarnya, perlahan mengalihkan mood yang mulai berubah. Si wanita itu berpikir, cuaca boleh dingin tapi jangan hatiku..ah tidak...
"Hmm.. enak. Sekarang aku tahu kenapa kau suka ini."
"Gombal. Aku ingat pertama kalinya kita berkencan. Kau membelikanku makanan yang sesungguhnya bukan kesukaanku. Tiap kali aku ingatkan, kamu lupa, sayang. Atau tepatnya, diam-diam lupa."
"Kau meragukanku?" tanyanya. Tanpa jawaban tapi ia tahu ia menatapnya dengan penuh gairah.
"Aku tidak pernah lupa mencintaimu..." ucapnya mesra.
Malam yang dingin pun menggoda mereka. Sebuah pelukan, sedikit kecupan, separuh roti yang dibagi dengan cinta. Kadang kala cuaca yang dingin pun hanya bisa menggoda, lagi, dan lagi, hingga hari ke dua ratus delapan puluh lima kemudian mereka menikah. Sepotong roti kesukaannya dari toko roti yang sama yang kemudian bertambah dengan sepotong cake berwarna merah tua berlapis krim. Entah, apapun itu namanya.. kata si lelaki, yang perlahan karirnya mulai menanjak, dalam dua tahun kemudian cintanya masih mendamba mesra pada istrinya.
"Kau dimana?"
"Di kantor. Aku akan pulang sebentar lagi. Kau ingin sesuatu?"
"Hmm.. aku mengidam cake itu lagi."
"Ooh sayang..." serunya, "Apakah itu artinya kau lebih memikirkan itu daripadaku?" Dari seberang sana suara tawa itu meledak."Bagaimana calon kecil kita?"
"Baik-baik saja. Sudah mendekati harinya." tuturnya.
"Maafkan aku sayang. Perusahaan semakin baik. Baiklah, aku pulang sekarang." Ditutupnya telepon itu, bergegas mengambil mantelnya dan berjalan keluar. Seperti janjinya, membawa pulang roti kesukaan istrinya yang bahkan tanpa disadarinya hampir tiap hari ia ada disana sampai-sampai dan dihapal oleh pekerja di toko itu. Toko roti yang sekian lama menjadi kenangan di masa kencan mereka, bahkan ia pun hapal apa saja bau-bau roti disana. Menggoda, dan mewah. Orang-orang yang berlalu lalang dengan sekantong penuh roti keluar dengan rasa bangga mereka. Kehidupan yang seperti itu barangkali...
"Sayang?" Ia tertidur.
"Hmm?" diliriknya jam tangan. Pukul dua pagi.
"Bagaimana kau bisa tertidur disini? Kau terlalu larut dalam pekerjaanmu."
"Sudahlah. Tidurlah lebih dulu."
"Kau hendak bekerja lagi." tanyanya. Menatap suaminya dengan kekuatiran."Besok pertama kalinya kita melihat anak kita bersekolah. Aku tak mau kau lelah."
"Tidak apa-apa. Kau lihat tadi aku baru tidur."
"Seharusnya aku tak membangunkanmu." imbuhnya kesal. Bagaimana tidak kekuatirannya yang dirasakannya semakin membesar dari hari ke hari, sama seperti anak laki-laki mereka yang terus bertumbuh."Aku lelah..."
"Tidurlah kalau begitu."
"Bukan itu maksudku. Kau tahu... Sudahlah.." Ia berlalu. Hampir saja meninggikan suaranya. Bagaimanapun ia tahu, ada hal-hal kecil yang bisa membesar dengan cepat, dan menghanguskan segalanya. Pagi itu, ia memakan roti yang dibelinya sendiri karena kesibukan luar biasa suaminya yang tak lagi sempat untuk membeli karena letaknya yang semakin jauh. Kantor perusahaan yang dikelola suaminya terus berkembang pesat dan memutuskan pindah untuk meluaskannya, dan sementara menyita waktu suami yang mulai terlambat pulang. Dan apapun itu, alasan perusahaan semakin terasa seperti sebuah ego dan ego yang harus dimengertinya. Apakah harus..? tanyanya. Ia melahap potongan kecil itu tanpa semangat.
"Tidak enak... aku rindu..." bisiknya, "Sudah lama, pikirnya, sudah lama sekali... tak lagi mengunjungi toko roti yang menyimpan banyak kenangan sebelum kita menikah. Aku barangkali lupa bau harum itu.."
Tiba-tiba selintas dalam pikiran untuk menelepon suaminya.
"Apa..kah kau sibuk?"
"Sayang, tunggu sebentar..." Wanita itu membetulkan potongan rambutnya dan menyadari betapa kegaduhan terdengar di seberang sana. Sudah kuduga... Lama. Dan lama sekali ia menunggunya. Mengapa aku tak mampu lagi mendengar suaramu?

The softness it calming your mood
Because the hearty fire it used to bake
is always in confidence to grants the wishes
Like a wonderful daydreaming

Di hari ulang tahunnya yang ke sebelas, anak laki-laki itu meniup balon yang akan dipasangnya untuk acara ulang tahun yang akan dirayakan sebentar lagi. Mata yang cerah, dan senyumnya menjadi perhatian ibunya yang duduk menikmati setiap tingkahnya, yang kemudian teralihkan dering telepon. Dering yang pada akhirnya terdengar meletus lebih keras dari balon itu...
"Apakah itu tekadku?" tanyanya dalam suara yang sama. "Kau tak memahamiku?"
"Kau yang ambil keputusan. Baik, aku akan menerimanya."
"Jadi... bagimu itu terdengar sepele? Aku juga?" air matanya mengalir.
"Berhentilah berkata. Kau yang paling tahu aku tak menyepelekan apapun. Kalau aku melakukan itu perusahaan takkan bisa seperti sekarang."
"Lagi-lagi... Aku tak ingin mendengarkan itu." keduanya terdiam."Aku tak sanggup lagi." Dan selanjutnya sederet perkataan antar keduanya terdengar bagaikan lagu yang mengalun emosional, meraung dengan nada-nada tinggi dan berdesah karena benak yang berbeda hingga terhenti tanpa menyisakan kata.

"Kau senang sayang?" Anak laki-laki itu pertama kalinya memasuki toko itu. Dari tadi lubang hidungnya membesar pelan-pelan mencium satu persatu wangi yang pernah dikenalnya. Tapi disini bagaikan istana yang penuh harta karun.
"Aku ingin itu, mama." serunya. Hari itu, bersama kedua orang tuanya, dan hari pertama sebelum ke dua puluh empat setelahnya, ia berjalan bergandengan tangan dengan ayah ibunya. Mencicipi sepotong roti perancis yang dipilihkan ayahnya.
"Makan dengan tenang. Lihat apa yang menempel di bibirmu." seru ayahnya. Memandang mereka.
"Habis ini enak.."
"Kau menyukainya? Mama juga sayang?" diusapnya dengan lembut bibir kecil itu. Ia mengangguk. "Syukurlah." Dan ia belum tahu, dari sepotong roti perancis yang dihabiskannya dengan lahap di hari itu, mungkin tak lagi terasa sama nikmatnya dan wangi roti yang bertebaran perlahan menghilang menjauh... 


Chapter Three

My love told me about white fragrance
How do you know, I asked
she said... it's same on you...

"A~yah..." Aku terperangah di hari itu. Apakah aku salah dengar?
"Kau lucu. Tentu saja tidak. Lihat dia sudah semakin besar." jawab istrinya. Ia tersenyum merasa lucu melihat reaksi suaminya.
"Begitu ya... Sini sayang. Ayah disini.." Dengan lembut dipeluknya. Mengayunnya sesekali berbisik I love you yang dibalas dengan lincahnya jemari-jemari kecil yang mencoba merengkuh dagunya.
"Aku mencintaimu." berbisik. Sementara istrinya mendengar itu.
"Sudah lama aku tak mendengar nada itu." Saling melirik. Tentu saja ada senyum yang tersimpul.
"Kau pura-pura tak mendengarrku."
"Bukankah terakhir kalinya kau mengatakan itu ketika hujan deras turun?"
"Menurutmu? Aah.. kau cemburu..."
"Aku? Sama anak kita sendiri?" selanya."Sangat lucu."
"Benar-benar lucu." Ia mendekatinya."Bukankah dia juga? Iya kan sayang?" Sayang, mengacu pada anaknya. Hal itu membuat istrinya gemas lagi. Tapi tingkah si anak membuatnya melupakan semua itu. Siang itu sang suami kembali ke rumah, menenangkannya karena kelelahan. Anak pertama terus merengek mengharapkan pelukan hangat ayahnya, yang lagi-lagi tertahan di kantor.
"Kau sudah makan?"
"Belum. Kau membuat sesuatu?"
"Hanya menu ringan. Waktuku tersita olehnya. Akan kusiapkan."
"Terima kasih sayang." Ucapan yang tiba-tiba saja itu, yang tiba-tiba membuatnya senang dalam hati. 
"Apakah itu bayaran untukku?" tanyanya. Ah, terlanjur...
"Kau ini... Kalau aku mengucapkan lebih banyak apa yang akan kau beri?"
"Hmm.." tersenyum,"Rahasia."
"Melihat senyummu saja aku sudah bisa menebak." serunya. Ruang makan itu mendadak penuh letupan-letupan cinta di tengah anak laki-laki yang tertawa tanpa mengerti semua itu.
"Lebih baik aku kembali sekarang." 
"Sayang... jangan lupa aku menunggumu nanti malam." ucapnya. Aku terpaku... kusadari betapa cantiknya ia mengucapkan hal itu. Betapa bahagianya tatapan mata itu. Perasaan yang menggelora, hanya karena saling memandang, bahkan kata-kata hanya berarti membuang waktu. Aku terdiam.
"Ayah?" Ah.. aku terbangun oleh seruan yang sama. Memanggilku.
"Kau sudah datang?"
"Kau tampak lelah."
"Hanya hal biasa. Apa kabar baik yang bisa papa dengar tentangmu?"
"Sangat lucu. Aku baru saja datang dari jauh." keluhnya. Aku kenal ekspresi itu. Sangat kenal. Adakah yang terlupa?
Aku tertawa, kataku, "Benar-benar lucu." Tidakkah ini mengingatkanku?
"Bagaimana kalau aku menemanimu bermain catur?"
Bukankah itu tidak menyenangkanmu? Saat itu aku ingin mengucapkan itu tapi melihat raut wajahnya yang mengisi semangatku, "Baiklah. Kau harus belajar banyak." ucapku bungah. Dan tawa kecil kami meledak. 
Hari itu, samar-samar aku mencium wangi roti yang sudah lama terlupa. Seperti sebuah kenangan yang terindukan. Anak laki-lakiku telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang tampan. Aku rasa setiap orang tua akan berkata hal yang sama terlebih seorang ayah. Kau kebanggaanku, nak.
"Haruskah aku meminjam buku ini? Akan aku kembalikan kalau berkunjung lagi."
"Apa kau akan segera membacanya?"
"Ayah terdengar tidak rela. Atau tidak rela aku pulang?"
"Ooh.. sekarang kau terdengar seperti..." Aku terdiam. Ya, barangkali hari ini ingatan-ingatan itu seperti terangkai lagi. Atau boleh aku menyebutnya kenangan?
"Ayah?" Anak laki-lakiku memasang muka heran. Menatapku dengan tanda tanya dan rasa penasaran itu. Ah, ia selalu begitu. Selalu antusias akan sesuatu.
"..Seperti ayah." sahutku. Nak, maafkan ketidakjujuran ayah.
"Aku tak mengerti." Aku menggeleng. Memberinya tanda jangan dipikirkan. Lalu di menit-menit terakhir sebelum malam menjelang, ia berceloteh banyak hal yang dialaminya selama ini.
"Oh ya, ayah, sebenarnya tadi aku mampir untuk membelikanmu sesuatu. Kuletakkan di meja depan. Bukalah nanti." tuturnya. Ia mengecup keningku. Salam dari ayah dan anak. Dan berlalu. Mengantarnya hingga tiada lagi terlihat. Menghela nafasku. Sepertinya hari ini aku memang lelah... Dan teringat oleh pesannya, aku menemukan sebuah kantong yang tertutup rapat. Panas? Dan samar-samar aku mencium kembali wangi yang sama. Wangi yang pernah menggodaku...

Would I happy if this heart is baked?
If it means I'm no longer alive
Because there is empty space for this body
Who will heal me then?








Let me sure you that you have good ingredients
because the new one are never be replaced
just with a pocketful of flour or egg
even the dough need a rest, the yeast said that

Chapter Four

"Maaf, Ibu, anda baik-baik saja?" Aku menoleh. Seorang pegawai menolongku yang hampir terjatuh. Ada apa denganku?
"Terima kasih." sahutku. Aku memutuskan untuk duduk sejenak. Mungkin keramaian disini mengangguku. Tapi aku tak mau menyalahkan itu. Justru aku yang memaksakan diri. Apalagi wangi ini selalu menggodaku.
"Silakan." Orang itu datang lagi.
"Tidak usah." kataku. Ia menyodorkan sepotong roti perancis dalam piring kecil di mejaku duduk. Dan segelas air minum."Saya baik-baik saja."
"Benar?" tanyanya. Aku mengangguk walau itu membangunkan pusingku. Aku hanya perlu beristirahat sejenak.
"Kalau begitu anda terpaksa menghabiskannya." imbuhnya. Haa? "Aku terlanjur membelinya." Aku terkejut dengan ucapannya. Jadi maksudnya?
"Baiklah." Kupikir bagaimanapun juga aku berterima kasih. Dan pada akhirnya itu sebuah keputusan yang tak pernah kusesali. Rasanya benar-benar enak. Renyah tapi lembut sekali di dalamnya. Baru kali ini aku menikmatinya seperti seorang yang baru pertama kali mencicipi.
"Saya kira sering melihat anda." Ia memulai pemnbicaraan.
"Kurasa begitu." Tak terasa aku menghabiskannya.
"Dengan suami anda." Ia mengucapkannya tepat ketika mulutku mengunyah. Tapi entah mengapa terasa lancang kudengar.
"Saya senang anda mengingat kami." balasku. Bagaimanapun aku tampak marah, bukan hal yang baik untuk orang yang telah menolongku. Lagipula bau-bau harumnya roti ini meredam kemarahanku.
"Kami senang menanti anda kembali." lekasnya berlalu. Ujung jemariku menyentuh bibir. Merasakan rasa manis yang ada disini. Mungkin masih ada yang tersisa untuk kukecap. Disitu aku berpikir, berapa banyak waktu yang terulang, melihat kerumunan orang-orang yang mengantri dan memesan semua roti yang ada dan keluar dengan perasaan bahagia.
Ini roti... seruku. Tiba-tiba aku ingin sekali masuk kedalam dapur mereka. Melihat apa yang terjadi disana. Mencari tahu keajaiban apa yang mereka pakai untuk membuat roti seenak ini. Apakah ada bahan rahasia? Apakah hanya tepung, telur, ragi dan ...ahh entahlah. Aku tak tahu banyak. Aku suka. Itu saja. Dan selalu saja kedua mataku berbinar melihat barisan roti-roti perancis itu berjejer dengan warna mencolok mereka. Itu saja sudah membuatku membayangkan betapa renyahnya, dalam sekali gigitan, tawar memang, tetapi ada juga yang manis, bahkan bisa saja aku sisipkan lembaran daging atau telur seperti dalam croissant yang aku beli untuk makan pagi bersama..nya.
"Sayang...." tiba-tiba aku merajuk. Aku tak ingin pulang. Aku...
Kuberanikan diriku berdiri, berjalan perlahan, tapi aku tak mau pulang begitu saja. Sudah jauh-jauh datang kesini. Lagipula aku ingin mengenalkan wangi ini pada anak laki-laki kesayangan kami. Wangi yang selalu kurindukan...
"Kau baik-baik saja?" Aku terbangun. Tertidur di sofa setelah menidurkan anak.
"Sayang..." sahutku lemah. Tiba-tiba saja aku merasa rindu... kamu memberiku rindu yang sama...
"Kau terlihat lelah."
"Aku pucat?" tanyaku memastikan.
"Aku tidak ingin mengatakannya. Kau akan berpikir begitu."
"Jadi iya..." aku menjawabnya sendiri. Ia berjalan ke ruang makan, kembali dengan segelas air minum untukku."Mungkin aku lelah."
"Aku akan menggendong kamu." lekasnya. Mengalungkan kedua lenganku padanya. Benar, aku memang rindu...
"Apakah kau tetap disini?" Kulihat jam berdentang tiga kali. Jam tiga pagi. Ia baru pulang begitu larut.  
"Aku akan menemanimu." Sambil duduk disampingku. Mengusap keningku. Entahlah, aku begitu lelah. Lekas terlelap dalam tidurku. Dan ketika cahaya pagi benar-benar mengusikku, aku terbangun dalam kesendirian. Mencoba mengerti apa yang terjadi semalam. Apakah semalam kau ada disini? Ataukah aku hanya bermimpi?

because when love is the only potion
that you add into the dough
I'm curious who will falling in love
even though there is only you and me
and baked heart that deliciously served




The tremble sound of crackling bread
The color of golden brown and glazed butter
The sprinkle of sugar and dry fruit
The moisture of the mold
Why that's all makes me love you?

Sepotong roti. Pernahkah kau mendengar suara renyah ketika kau mengigitnya dengan kemesraan bibirmu yang menggelora dan menggertak untuk melumpuhkannya? Dan ketika kau kecap, rasa lembut itu yang akan mengecupmu. Setiap denyut. Setiap hilir nadi, yang berbisik kepadamu, apakah pernah membuatmu penasaran. mengapa bisa seenak ini? mengapa begitu lembut hingga lagi-lagi tertarik untuk mengigitnya lagi hingga lenyap tak bersisa. Remah yang tertinggal menjadi bukti bahwa waktu takkan terulang kembali. Dalam sepotong roti, aku mencumbunya. Dari sepotong roti, aku mencintaimu...

"Apakah kau pernah menyesali ini?" tanyanya. Aku terdiam. Tentu saja kau tahu jawabanku. Tentu saja rasa sesal itu ada. Sekarang hanya tersisa remah roti.
"Aku bahagia." seruku. Pilu. Tak ada wanita yang menginginkan ini, termasuk aku.
Dalam perpisahan kami, tentu saja ada banyak tanda tanya yang barangkali tak terjawab. Terkadang ada jawaban-jawaban yang perlu kucari sendiri. Seperti mengapa aku menangis, bila aku bahagia, dan bila kamu tak menyesali ini...
Dan beberapa tahun berlalu. Anak laki-laki kecil yang menemaniku bertumbuh besar. Dalam tatapan matanya yang penuh rasa antusias. Tapi aku tahu ia merasakan sesuatu setiap kali ia mengunjungimu. Memperhatikannya dalam sebuah sudut dan terdiam, hingga samar-samar aku terpergok oleh wangi yang membuatku rindu...
Seandainya...remah roti itu tak pernah ada... dan masih berbentuk utuh... ataukah karena sepotong roti itu mengajarkan sesuatu, bahwa di dunia ini tak ada yang abadi. 
"Aku merasa tersiksa memikirkan itu." Itu yang kamu bilang kepadaku, sayang... ketika kita tanpa sengaja berbincang betapa cepatnya anak kita akan tumbuh dewasa. Kau takut akan waktu itu...
"Lupakah bagaimana kita waktu itu?" tanyamu.
"Ada banyak waktu kita."
"Aku setuju. Waktu kita mabuk kepayang. Jatuh..."
"Cinta." selaku. Aku mencumbunya."Tentu saja."
"Apa yang kau pikirkan tentang aku?"
"Semua yang dipikirkan tentang kekasihnya. Juga roti..." Ia mencubitku.
"Apakah ini juga?" Kembali bertanya tentang cubitan itu."Ketika aku melamarmu, dan kau tak percaya dan memaksaku mencubitmu setiap kali kita berkencan setelahnya?" Aku tersenyum simpul.
Mengapa rasa sakit itu berbeda? Bukankah kebahagiaan juga sama? Seperti sepotong roti, barangkali...


I love these fragrant smell
Reminds me of how I love you
I'm already told you
I love you

Chapter Five

Hari itu...  Toko roti di kawasan pusat kota tampak ramai. Tercium harumnya wangi roti yang baru saja dikeluarkan dari oven. Menyala dalam warna keemasan mereka. Sementara di bagian yang lain, beberapa orang dengan pakaian yang seragam berjalan cepat-cepat seiring tangan mereka menekan lembut seperti menyentuh bayi. Hari itu sungguh ramai, diskon menjadi kabar burung yang dengan cepat menjadi umpan bagi beberapa orang, sebut saja penggemar di luar toko yang diam-diam tak menyadari betapa hidung mereka maju dan ujung mulut mengintip dengan liur sementara mata mereka berbinar. Terlebih ketika mereka menyadari betapa menariknya para bayi yang baru saja muncul di hadapan mereka...
"Jangan kuatir Mom. Aku akan kembali sebelum tengah malam. Hmm.. baiklah." Seorang laki-laki muda. Langkahnya terhenti di depan toko roti itu. Ia memandang dengan perasaan tak karuan. Membiarkan degup di hatinya berdebar. Sejenak ia menunggu sembari mengecek pesan masuk di teleponnya. Sudah kuduga, serunya. Sepuluh menit kemudian ia memutuskan ikut mengantri. Di samping seorang laki-laki yang lebih tua darinya.
Karena hari itu bertepatan dengan hari libur dan di awal pekan, maka diskon yang diberikan benar-benar menjadi magnet yang memikat, apalagi mereka yang mengantri akan terbius oleh keharuman roti yang kemudian tanpa berbasa-basi berjejer tersaji siap untuk dibeli. Laki-laki muda itu merasa antusias, kemudian mengajak berbicara lelaki di sampingnya untuk mengusir waktu. Perlahan namun pasti, mereka masuk dan memesan roti piilihan masing-masing. Dan laki-laki muda itu, juga memberanikan diri mengakui apa yang telah terjadi di masa lalunya dalam cerita yang singkat, tanpa memihak karena bagaimanapun ia mulai mengerti sebuah proses kehidupan yang dijalaninya. Ia berani mengutarakan tentang kebahagiaan dan kesedihan, walaupun dalam hatinya ia merasa kikuk menyangkut soal itu. Satu hal yang disadarinya, ketika ia masuk ke dalam toko dan melihat segalanya, ia menyadari ada begitu banyak perasaan yang dirasakannya, termasuk menjadi sebuah kenangan. Memberinya keberanian untuk melangkah mencintai kehidupan. Di hari itu, ketika ia bahagia bisa mewujudkan kebahagiaannya dan berbagi rasa. Ketika tiba saatnya memesan, ia teringat, apa yang baru saja diceritakannya, roti yang pertama kali dipesannya, dan di dalam hatinya ada keraguan untuk mencicipnya kembali. Pada akhirnya ia memilih untuk tidak membelinya. Ia tahu, ada rasa rindu... tapi yang ia tahu ada rasa rindu yang lebih besar daripada itu. Kerinduan yang akan lebih membuatnya mencintai kehidupan lebih banyak lagi.
Nah. Sampai jumpa lagi." Ucapan itu mengakhiri pembicaraan dan entah mengapa kedua matanya tak sanggup untuk beralih dari punggung yang menjauh itu. Ia terdiam sejenak. Mencoba mengintip di dalam kantong itu dan menemukan roti perancis yang pertama kali dirasakannya ketika berkunjung ke toko roti ini pertama kalinya bersama kedua orang tuanya. Perasaan di dalam hatinya kembali berkecamuk. Senang, sesal dan sesak, alih-alih semua itu bahagia. Ia bergegas  menoleh memperhatikan bagaimana punggung lelaki yang lebih tua itu beranjak menjauh dari penglihatannya. Hari itu, sebelum dirinya berjalan pergi untuk menemui kekasihnya dan setelah sebelumnya berjanji kepada ibunya untuk pulang sebelum tengah malam, ia berucap dengan penuh harapan akan kebahagiaan sebuah keluarga, ucapnya, "Terima kasih Ayah..." 

D hari itu, di sebuah toko roti di kawasan pusat kota, ada kebahagiaan yang pernah terulang kembali...

I was wondering it's you
Someone that I meet on the bakery shop
When I don't see any materials but a baked bread
You offer me somehow even we're not started to telling our name
A place when we are pale for something strange
But I see love flying inside my heart
In a fragrance that scoop me all my heartbeats
Wondering if my mind just already in wonderland
Eat the bread, love the color, smell the sound
How does it all exist to me realize after seeing you
A bright colored bread, a glazed sugar coat peanut cake
Someone that I meet on the bakery shop
Would it be you?

~ Croissant Love @ Heiki




















0 komentar:

Post a Comment

 

Popular Posts

instagram me

THX4Visiting & Please :)

THX4Visiting & Please :)

Followers